Mualem Bentuk Tim Migas Blok Andaman, Padahal di Atas 12 Mil Bukan Wewenang Aceh
BANDA ACEH, Infoaceh.net — Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem telah menerbitkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 500.10.7.1/1012/2025 tentang pembentukan Tim Teknis Plan of Development (POD) Blok South Andaman Mubadala Energy, yang ditetapkan di Banda Aceh pada 22 Agustus 2025.
Dokumen resmi itu memerintahkan tim yang mayoritas beranggotakan unsur Pemerintah Aceh, akademisi, staf khusus gubernur, dan pejabat daerah untuk mengevaluasi dokumen POD, berkoordinasi dengan Mubadala Energy, serta “sinkronisasi dengan BPMA dan SKK Migas”.
Namun keputusan itu memunculkan pertanyaan serius soal kewenangan hukum dan praktik tata kelola migas di Aceh.
Sumber internal Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) — yang meminta namanya tidak dipublikasikan — mengatakan klaim sumber daya yang menjadi alasan pembentukan tim tersebut berada di luar batas 12 mil laut, sehingga masuk wilayah pengelolaan pemerintah pusat melalui SKK Migas, bukan kewenangan BPMA atau Pemerintah Aceh.
Keputusan gubernur pada Bab tugas tim secara eksplisit memerintahkan tim untuk, antara lain, “melakukan evaluasi dokumen POD…”, “melakukan koordinasi dengan Mubadala Energy…” dan “sinkronisasi dengan BPMA dan SKK Migas untuk menjaga kesinambungan antara kebijakan nasional dan daerah”.
Namun lampiran susunan personalia tim berisi pejabat dan staf dari jajaran Pemerintah Aceh — seperti Gubernur, Wakil Gubernur, Sekda, Asisten Perekonomian, Kepala Biro Perekonomian, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh — serta sejumlah akademisi dan praktisi, juga sejumlah staf khusus Gubernur Aceh yang merupakan bekas tim sukses Mualem-Dek Fad di Pilkada 2024.
Sementara perwakilan SKK Migas atau perwakilan pemerintah pusat tidak tercantum dalam daftar anggota tim.
Kontradiksi antara perintah untuk “sinkronisasi dengan SKK Migas” dan ketiadaan SKK Migas dalam daftar anggota menjadi sumber kebingungan dan kritik.
Jika benar wilayah kerja (WK) yang dimaksud berada di luar 12 mil, maka langkah pembentukan tim teknis daerah untuk “mengelola” atau “mengawal” POD berpotensi tidak relevan secara hukum dan praktis.
Sumber internal BPMA juga memberi peringatan penting: klaim cadangan yang diumumkan terkait Blok South Andaman masih dalam tahap political claim — klaim politik yang belum didukung studi teknis, data cadangan terverifikasi, atau analisis ekonomi yang valid untuk menentukan apakah cadangan tersebut dapat dimonetisasi menjadi penerimaan negara.
Artinya, klaim awal belum tentu berujung pada produksi atau pemasukan fiskal.
Lebih jauh, sumber itu menegaskan bahwa Mubadala maupun nama lain yang santer disebut (misalnya Harbour Energy) selama ini berkomunikasi dan berurusan dengan otoritas pusat — SKK Migas — bukan dengan BPMA.
Jika demikian, pembentukan tim daerah tanpa koordinasi formal yang jelas dengan SKK Migas berisiko menjadi “aksi simbolis” tanpa kekuatan implementasi.
Langkah Gubernur Aceh ini berisiko memicu beberapa dampak negatif:
Ketidakpastian hukum antara otoritas pusat dan daerah, yang dapat mengganggu kepercayaan investor asing/asing-lokal apabila peran dan batas kewenangan tidak dijelaskan.
Duplikasi tugas dan pemborosan anggaran jika tim daerah melakukan kegiatan yang seharusnya menjadi domain teknis SKK Migas dan operator WK.
Risiko politisasi sumber daya — klaim yang belum terverifikasi dipakai untuk tujuan politik lokal tanpa dasar teknis yang kuat, sehingga mengaburkan transparansi pengelolaan migas.
Potensi ketegangan institusional antara BPMA (yang memiliki peran di Aceh sampai batas tertentu) dan SKK Migas sebagai regulator nasional.
Undang-undang terkait pemerintahan Aceh (UUPA) memberi ruang bagi Aceh untuk memiliki otoritas khusus atas beberapa urusan sumber daya, tetapi garis batas pengelolaan laut lepas dan wilayah ekonomi eksklusif umumnya berada di domain nasional.
Ketidakjelasan atau klaim tumpang-tindih berpotensi mengakibatkan sengketa tata kelola yang merugikan kepentingan publik Aceh — terutama apabila klaim cadangan migas tidak pernah dibuktikan lewat kajian teknis yang transparan.
Menariknya, dalam keputusan tersebut Gubernur Aceh memerintahkan agar tim melakukan “sinkronisasi dengan BPMA dan SKK Migas”.
Itu menunjukkan pengakuan bahwa SKK Migas adalah aktor penting. Namun praktiknya, mengecualikan perwakilan SKK Migas dari struktur tim berarti koordinasi sulit diwujudkan secara efektif, kecuali ada mekanisme komunikasi terpisah yang jelas — yang sejauh ini belum dipublikasikan.
Publik Aceh berhak mendapat penjelasan: apakah langkah ini dimaksudkan sebagai upaya antisipatif agar Aceh mendapat porsi manfaat bila cadangan benar-benar monetisable, atau sekadar manuver politik?
Jika niatnya perlindungan kepentingan daerah, mekanisme legal dan teknis untuk itu harus jelas — melibatkan SKK Migas, Kementerian Energi, operator WK, serta kajian lingkungan dan ekonomi yang transparan.
Keputusan Gubernur Nomor 500.10.7.1/1012/2025 kini menjadi titik fokus: apakah ini akan menjadi langkah proaktif untuk melindungi kepentingan Aceh — atau sekadar langkah politis yang berpotensi melintasi batas kewenangan?
Jawaban atas pertanyaan itu bergantung pada transparansi data teknis, keterbukaan proses koordinasi antarotoritas, dan sikap pemerintah pusat dalam menegaskan batas-batas hukum.