Menurut Delky, belum adanya penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) membuktikan Pemerintah Aceh selama ini belum memaksimalkan kekhususan Aceh dalam melibatkan partisipasi masyarakat di sektor pertambangan.
“Jika wilayah pertambangan rakyat (WPR) belum ditetapkan, maka keinginan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem yang selama ini diucapkan terkait pemberian izin pertambangan rakyat (IPR) akan sulit diwujudkan,” katanya.
Dia menguraikan, tidak Adanya Penetapan WPR di Aceh selama ini dikarenakan lima hal.
Pertama, kurangnya data dan informasi tentang potensi mineral di Aceh dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR, sehingga Gubernur Aceh seyogyanya mengevaluasi kinerja Dinas ESDM Aceh agar ke depan bisa lebih maksimal.
Kedua, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, seperti antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR.
Ketiga, masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya WPR dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR, sehingga Dinas ESDM Aceh semestinya dapat menyosialisasikan serta memfasilitasi pertambangan rakyat yang legal, ekonomis dan ramah lingkungan
Keempat, kurangnya sumber daya, seperti dana dan tenaga ahli di instansi terkait, dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR
Kelima, kurangnya peraturan yang jelas tentang WPR di Aceh dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR.
Untuk itu, Pemerintah Aceh dengan kekhususannya seharusnya melakukan revisi/perubahan qanun nomor 15 tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Aceh, kemudian menambahkan pasal yang mengatur secara khusus terkait izin pertambangan rakyat
Keenam, konflik kepentingan yang menyebabkan Pemerintah kesulitan dan ragu-ragu dalam menetapkan WPR, sehingga kebijakan yang dilakukan pemerintah kerap menguntungkan korporasi tambang, namun mengabaikan partisipasi masyarakat.
Tak heran jika di beberapa daerah seperti di Aceh Selatan terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang, karena dinilai selama ini masyarakat hanya diibaratkan ‘buya lam krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki’ (masyarakat hanya sebagai penonton, korporasi tambang yang menikmati hasil SDA).