Kata Delky, tidak adanya penetapan WPR selama ini menyebabkan kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan pertambangan yang tidak terkendali, yang selama ini sering disebut pertambangan ilegal atau PETI.
Kemudian tidak adanya penetapan WPR dan pemberian IPR dapat menyebabkan kehilangan pendapatan bagi masyarakat dan pemerintah akibat kegiatan pertambangan yang tidak terkendali sehingga tidak adanya pendapatan asli daerah (PAD), biasanya yang diuntungkan dalam hal ini hanya oknum-oknum sementara daerah dirugikan.
Selanjutnya, tidak adanya penetapan WPR dapat menyebabkan konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan tambang akibat kegiatan pertambangan yang tidak terkendali, karena kerap terjadi perusahaan tambang mencaplok lahan yang biasa digunakan masyarakat untuk aktivitas pertambangan yang berujung kepada konflik sosial.
“Melihat kondisi itu, diperlukan langkah kongkrit Pemerintah Aceh untuk sesegera mungkin membahas kembali/merevisi dan mengesahkan regulasi pengelolaan pertambangan yang mengakomodir secara kongkrit terkait pertambangan rakyat di dalamnya, sehingga ke depan Pemerintah Aceh dapat menetapkan wilayah-wilayah pertambangan rakyat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh dapat memberikan izin pertambangan rakyat (IPR) pada wilayah yang telah ditetapkan tersebut,” tambahnya.
Selain itu, lanjut Delky, diharapkan ke depan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota di Aceh dapat memfasilitasi legalitas pertambangan rakyat, melakukan fasilitasi dan edukasi penggunaan teknologi yang ekonomis, ramah kesehatan dan lingkungan kepada penambang rakyat, serta memberikan berbagai solusi terkait Pengelolaan tambang rakyat.
Dia menyebutkan, dengan ditetapkannya WPR dan diberikannya Izin Pertambangan Rakyat (IPR) oleh Pemerintah diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi, mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan serta menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Harapan kita semoga apa yang diinginkan dan dijanjikan pemerintahan Mualem-Dek Fad terkait pertambangan rakyat dapat terealisasi sehingga di hati masyarakat kekhususan Aceh dalam pengelolaan SDA sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan UUPA bukanlah sebatas angan-angan belaka,” pungkasnya.