Pertama, pemda/pemko seharusnya dapat memanfaatkan pos Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing sebagai perlindungan sosial.
Terkait BTT, Mendagri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan BTT dalam rangka Pengendalian Inflasi di Daerah, namun tidak terlihat ada tindak lanjutnya di kota Banda Aceh.
Kedua, pemda/pemko juga disebut dapat mengalihkan 2 persen dari Dana Transfer Umum yakni berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk memberikan jaring pengaman sosial. Ketiga, pemda dapat menyalurkan bantuan yang bersumber dari mata anggaran bantuan sosial (bansos) yang masih dimiliki oleh masing-masing daerah. Keempat, pemda diminta dapat memanfaatkan Dana Desa.
“Namun, keempat arahan Mendagri tersebut belum terlihat adanya upaya kongkret dari Pemko Banda Aceh untuk menindaklanjuti. Alhasil, tingginya kenaikan inflasi di Banda Aceh selain mencoreng citra pemko juga merusak citra pemerintah pusat dimata masyarakat Banda Aceh khususnya dan Aceh pada umumnya, karena Banda Aceh merupakan pusat pemerintahan di Aceh,” jelasnya.
Mirisnya lagi, kata Ikhwan, hingga saat ini tidak terlihat adanya skema dan solusi sebagai langkah antisipasi yang dilakukan, apabila terjadinya lonjakan harga barang dan kebutuhan pokok di pasar untuk memastikan supply barang dan harga tetap terkontrol dengan baik.
“Tidak terlihat adanya kerja sama antara Pemko dengan daerah lain yang menjadi pemasok barang di kota Banda Aceh, belum lagi operasi pasar yang dijanjikan masih sebatas janji belaka, sehingga wajar saja jika inflasi di Banda Aceh tidak terkendali dan mengalami kenaikan fantastis,” kata Ikhwan.
Ikhwan melanjutkan, sebagaimana yang pernah disampaikan Mendagri, bahwa apabila daerah tersebut dipimpin oleh seorang penjabat kepala daerah, penanganan inflasi itu juga akan menjadi salah satu bahan evaluasi kinerja. Bukan tak mungkin, hal itu juga menjadi pertimbangan untuk mengganti penjabat yang bersangkutkan.