BANDA ACEH, Infoaceh.net – Potensi zakat di Provinsi Aceh diperkirakan mencapai Rp3,1 triliun per tahun, setara dengan satu persen dari total Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diterima Aceh setiap tahun.
Namun, potensi besar itu belum tergarap optimal, karena realisasi penghimpunan zakat baru mencapai Rp330 miliar atau sekitar 12 persen.
Hal tersebut diungkapkan Anggota Badan Baitul Mal Aceh (BMA), Muhammad Ikhsan, dalam kegiatan Sosialisasi Potensi dan Kewajiban Zakat untuk Kalangan Media, yang digelar bersama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh di Kupi Nanggroe, Simpang Surabaya, Banda Aceh, Selasa (4/11/2025).
Kegiatan sosialisasi tersebut dibuka oleh Ketua SMSI Aceh, Aldin NL, dan diikuti pemilik serta pengelola media anggota SMSI. Diskusi dipandu oleh Sekretaris SMSI Aceh, Muhajir Juli, dan menghadirkan Guru Besar Filsafat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Syamsul Rijal sebagai narasumber.
“Masih ada 88 persen potensi zakat yang belum tergarap. Mudah-mudahan dengan dukungan media, kita bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berzakat,” ujar Ikhsan.
Menurutnya, selama ini sumber utama penerimaan zakat di Aceh masih berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN), dengan kontribusi sekitar Rp3 miliar per bulan. Namun, sektor non-ASN dan perusahaan justru menyimpan potensi yang jauh lebih besar.
“Potensi zakat terbesar sebenarnya ada di sektor perusahaan. Kita sudah mulai menggandeng Bank Aceh, PT PEMA, dan BSI. BSI baru mulai menyalurkan zakatnya ke Baitul Mal setelah dua tahun kita dorong,” jelasnya.
Meski dari sisi penerimaan relatif baik, Ikhsan mengakui penyaluran zakat masih sering tersendat akibat keterikatan Baitul Mal pada mekanisme keuangan daerah.
“Uangnya masuk lancar, tapi keluarnya lambat. Kadang bantuan baru bisa disalurkan setelah penerimanya meninggal. Ini yang paling miris,” katanya.
Kondisi tersebut, lanjutnya, disebabkan oleh ketidaksinkronan regulasi antara UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akibatnya, dana zakat dan infak masih tercatat sebagai Pendapatan Asli Aceh (PAA) dan harus melalui proses administrasi panjang, seperti SPN dan SP2D.
Untuk mengatasi hal ini, BMA tengah mengkaji penerapan sistem pengelolaan keuangan mirip Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), agar dana zakat dapat dikelola lebih cepat dan fleksibel.
“Kalau sistem seperti BLUD bisa dijalankan, penyaluran bisa lebih cepat karena dana dikelola langsung di lembaga, cukup dilaporkan ke pemerintah daerah,” jelas Ikhsan.
Selain kendala administratif, Baitul Mal juga menghadapi tantangan baru akibat kenaikan harga emas yang menaikkan nisab zakat ASN dari Rp10,5 juta menjadi Rp13 juta.
Kondisi ini menyebabkan jumlah wajib zakat berkurang dan target penerimaan zakat tahun 2026 menurun dari Rp65 miliar menjadi Rp40 miliar.
Meski demikian, penerimaan infak justru meningkat dari Rp45 miliar menjadi Rp63 miliar, yang membantu menjaga keberlanjutan program sosial Baitul Mal.
“Alhamdulillah infak naik cukup signifikan, ini menjadi solusi sementara untuk tetap menjalankan program bantuan,” katanya.
Ikhsan menegaskan, ke depan Baitul Mal Aceh perlu dikelola secara profesional dan amanah sebagai lembaga keuangan sosial Islam (Islamic Social Finance).
“Pengelolaan zakat tidak bisa dilakukan sembarangan. Kita butuh SDM yang kompeten agar dana umat benar-benar sampai kepada asnaf yang berhak,” tutupnya.



