BANDA ACEH — Komisi Yudisial (KY) diminta untuk segera dapat melakukan kajian monitoring dan supervisi serta penyadapan terhadap kinerja Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh.
Hal itu karena beberapa keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim tersebut menimbulkan dampak negatif dari publik terhadap kinerja peradilan dan menurunkan kepercayaan atas kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tipikor di Indonesia.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi
(GeRAK) Aceh Askhalani menyebutkan, pihaknya pada 15 November 2022, telah menyurati Ketua Komisi Yudisial (KY) RI terkait permohonan supervisi dan evaluasi kinerja Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh.
Tembusan surat juga dikirimkan ke
Anggota Komisi III DPR-RI Asal Aceh, Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Askhalani mengungkapkan, berdasarkan hasil monitoring dan pemantuan kinerja pengadilan khususnya terhadap proses penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, ditemukan fakta sejak tahun 2020-2022 terdapat 11 perkara tindak pidana korupsi yang terbukti divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, dimana sebagian besar perkara tersebut adalah perkara tindak pidana korupsi yang mendapat atensi besar dari publik karena berhubugan dengan hajat hidup orang banyak.
Dari total 11 perkara Tipikor yang divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh terdapat 6 perkara yang pada tingkat Kasasi terbukti secara hukum melakukan perbuatan pidana dan dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung, sedangkan 5 perkara lainnya saat ini sedang dalam proses Kasasi dan menunggu putusan akhir dari Mahkamah Agung.
Jika merujuk pada 11 perkara yang divonis bebas oleh Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh terdapat beberapa hal yang sangat janggal secara hukum atas putusan-putusan vonis bebes tersebut, serta patut diduga adanya konflik kepentingan lainnya dan adanya dugaan lain yang menyebabkan putusan vonis bebas tersebut cacat hukum, serta dalam pengambilan keputusan (vonis) diduga Majelis Hakim tidak independen, dan bukan berdasarkan fakta persidangan tetapi dilatar belakangi adanya dugaan permufakatan jahat yang menyebakan 11 perkara tersebut divonis bebas.