BANDA ACEH — Jaksa Penyidik pada Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Selasa (14/12) melakukan pemeriksaan terhadap 1 orang saksi yang terkait dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan pada program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang bersumber dari Badan Pengelolaan Keuangan Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang dilakukan oleh Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri di Kabupaten Nagan Raya TA 2019.
Saksi yang diperiksa yaitu SAL, selaku Manager Perkebunan pada Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam program Peremajaan Sawit Rakyat yang bersumber dari BPDPKS yang dilakukan oleh Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri di Nagan Raya TA 2019,” ujar Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh Munawal Hadi, dalam keterangannya, Selasa (14/12).
Pemeriksaan saksi dilaksanakan dengan mengikuti secara ketat protokol kesehatan antara lain dengan menerapkan 3M.
Seperti diketahui, Kejati Aceh sebelumnya telah meningkatkan status dugaan penyimpangan program peremajaan sawit atau Replanting di Kabupaten Nagan Raya oleh Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri dari penyelidikan ke tahap penyidikan.
Meski sudah dinaikkan status, namun hingga kini belum ada penetapan tersangka dalam kasus ini.
Kasi Penkum Humas Kejati Aceh Munawal Hadi mengatakan peningkatan status penyimpangan program Replanting itu setelah tim intelijen Kejati Aceh menemukan bukti permulaan cukup atas dugaan korupsi yang dilakukan oleh pihak Koperasi Perkebunan Sejahtera Mandiri dan pihak Dinas Perkebunan di kabupaten setempat.
“Setelah ditemukan bukti permulaan cukup, maka penyidik meningkatkan status dari penyelidikan ke tahap penyidikan. Saat ini, belum ditetapkan tersangka,” kata Munawal Hadi, Kamis (17/6/2021).
Dugaan korupsi dari program peremajaan sawit di Nagan Raya tahun anggaran 2019 sebesar Rp 12,5 miliar itu, kata Munawal telah terjadi penyimpangan terhadap identifikasi dan verifikasi kebenaran lahan yang akan diremajakan oleh pihak Dinas Perkebunan setempat.
Selain itu, lanjut Munawal, legalitas lahan yang sebahagian besar hanya berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang ditandatangani oleh Kepala Desa atau Keuchik, sehingga diragukan kebenarannya.
“Lahan tempat peremajaan sawit itu ada potensi masuk kedalam wilayah Hak Guna Usaha Perusahaan dan Kawasan Hutan seluas 500 hektar dan berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,5 miliar,” ujarnya. (IA)