“Di banyak dinas, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak berani bergerak menunjuk rekanan tanpa persetujuan dewan pemilik Pokir. Ini sudah jadi rahasia umum di lapangan,” katanya.
Dugaan Fee 40 Persen
Lebih lanjut, Nasruddin menyoroti adanya isu cash back atau fee proyek yang kerap terjadi dalam pengelolaan Pokir.
Praktik ini, kata dia, menjadi salah satu bentuk nyata kebocoran anggaran negara.
“Fee proyek bisa mencapai 30 sampai 40 persen. Dana yang seharusnya masuk kembali ke kas negara justru mengalir ke kantong oknum-oknum tertentu. Ini jelas merugikan negara dan masyarakat luas,” tegasnya.
Ia menambahkan, kondisi tersebut membuat banyak proyek pembangunan yang bersumber dari Pokir tidak berjalan optimal. Kualitas hasil pekerjaan pun sering kali jauh dari harapan, karena anggaran sudah terpotong di awal melalui sistem fee tersebut.
Nasruddin berharap KPK benar-benar menindaklanjuti temuan dan laporan masyarakat terkait proyek Pokir di Aceh.
Ia menekankan surat KPK kepada kepala daerah jangan berhenti hanya sebagai formalitas, melainkan harus ditindaklanjuti dengan investigasi mendalam dan langkah hukum yang nyata.
“Jika KPK serius, saya yakin banyak penyimpangan yang bisa diungkap. Pokir ini sudah lama jadi persoalan, dan praktiknya semakin sistematis. Kalau dibiarkan, Aceh akan terus dirugikan dan rakyat yang menjadi korban,” pungkasnya.