Menurut MK, pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk mengatur masa jabatan keuchik sesuai kebutuhan dan perkembangan masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa/keuchik sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai tuntutan perkembangan, selama tidak bertentangan dengan konstitusi,” tegas Guntur.
MK juga menekankan pentingnya harmonisasi antarundang-undang melalui revisi UU Pemerintahan Aceh. Revisi ini diharapkan tidak hanya mengatur masa jabatan keuchik, tetapi juga memperkuat keistimewaan Aceh sesuai amanat Pasal 18B UUD 1945.
“Perubahan UU 11/2006 harus mempertimbangkan perkembangan masyarakat, demi meneguhkan keberadaan Aceh dalam bingkai NKRI,” ujar Guntur.
Putusan ini tidak diambil secara bulat. Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut Arsul, untuk menjaga kesetaraan hak konstitusional para keuchik di Aceh dengan kepala desa di daerah lain, seharusnya MK mengabulkan permohonan dan menafsirkan masa jabatan keuchik menjadi delapan tahun, sama seperti ketentuan UU Desa terbaru.
“Masa jabatan keuchik semestinya mengikuti pengaturan kepala desa secara nasional, agar tidak terjadi perlakuan berbeda yang tidak beralasan,” kata Arsul.
Dengan putusan ini, sekitar 1.911 keuchik di Aceh yang masa jabatannya akan berakhir pada Desember 2025 tetap akan mengacu pada aturan masa jabatan enam tahun.
Perubahan hanya bisa terjadi jika DPR RI bersama pemerintah merevisi UU Pemerintahan Aceh.
Putusan MK juga menegaskan bahwa ketentuan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum, prinsip kepastian hukum yang adil, dan prinsip non-diskriminasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945.