Skandal Ekspor Nikel Ilegal 5,3 Juta Ton: Menantu Jokowi dan Airlangga dalam Sorotan
Oleh karena itu, surveyor pun hanya akan mencatat komoditas yang bakal diekspor sesuai dengan IUP dari pihak eksportir. Sementara itu, otoritas di China menganggap bahwa nikel dengan kadar 0,5 persen, kendati menempel dengan komoditas/mineral lain, dihitung sebagai nikel dengan HS code yang sama.
“Menurut Indonesia, kalau IUP-nya [perusahaan eksportir] besi, ya hitung besi saja. Sampai di China, lain lagi, kalau kadar nikel 0,5 persen ke atas itu kodenya [HS code] 26040000, nikel dia,” jelas Pahala.
Adapun KPK menemukan potensi selisih nilai ekspor ore nikel tersebut senilai Rp41 miliar, berdasarkan 63 bill of lading yang didapatkan. Angka tersebut ditemukan dari royalti yang berpotensi didapatkan oleh eksportir, PT SILO, apabila ore nikel yang terkirim ke China itu diakui sebagaimana regulasi di Indonesia.
Namun demikian, Pahala menegaskan bahwa adanya nikel dalam 63 bill of lading ekspor besi ke China itu tak bisa dikenakan royalti. Untuk itu, KPK langsung merekomendasikan perbaikan regulasi agar mineral utama yang diekspor dan “yang menempel dengannya” bisa sama-sama dikenakan royalti, walaupun dalam kadar yang rendah.
Dengan demikian, konsekuensinya PT SILO pun tidak mendapatkan royalti dari ore nikel tersebut. “Kita cepat-cepat tulis rekomendasi perbaikan. Yang ideal, apabila kirim besi ada [kadar] nikelnya, kenakan [royalti] saja dua-duanya. Iya dong. Baru untung,” tandas Pahala.
Berbeda dengan KPK, Menteri ESDM Arifin Tasrif justru menilai ekspor 5,3 juta ton nikel tersebut merupakan praktik penggelapan. “Tetapi memang kan tidak boleh ekspor besi isinya nikel. Itu penggelapan. Nilainya kan lain [antara besi dan nikel],” terang Arifin di kantor Kementerian ESDM, Jumat (15/9/2023) lalu.
Pemerintah Indonesia memang telah melarang ekspor nikel sejak 2020 guna mendorong penghiliran di dalam negeri. “Kita masih menginvestigasi, lagi dihitung. Kita tuh harus menginventarisasi lagi nih, benar tidak [temuan ekspor nikel ke China]. Kita lagi pendataan internal, nih,” kata Arifin.
Alot
Alotnya pengusutan kasus ini membetok perhatian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi VI. Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus menduga ada beking yang teramat kuat sehingga kasus ini belum menemui titik terangnya.