YLBHI Nilai Aparat Makin Brutal dan Tidak Manusiawi dalam Menangani Demo
Represi masyarakat juga dilakukan dengan pembatasan akses informasi. Ini dilakukan dengan cipta kondisi melarang media massa meliput aksi, dan juga matinya konten live TikTok pasca perusahaan tersebut dipanggil oleh Komdigi.
Dampaknya, akses informasi dan hak ekonomi masyarakat terganggu.
Selain itu, aparat kepolisian juga menutup akses bantuan hukum bagi warga yang ditangkap. Di Semarang, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya, Pengacara publik dari LBH-YLBHI dihalang-halangi untuk memberikan bantuan hukum kepada massa aksi yang ditahan.
Mirisnya, penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan juga dialami oleh Pengacara Publik di Samarinda dan Manado yang sedang melakukan pemantauan aksi.
Di Manado, Pengacara Publik LBH Manado ditangkap kemudian dipukuli beramai-ramai oleh aparat kepolisian.
Di Samarinda, salah satu Pengacara Publik LBH Samarinda ditangkap dan diseret kemudian diperiksa di Polresta Samarinda hingga pukul 02:00 WITA dini hari.
Data kekerasan fisik juga kami kumpulkan dari media massa yang memberitakan penerimaan pasien di rumah sakit.
Setidaknya 1042 massa aksi dilarikan ke rumah sakit di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, Bandung, Medan, Sorong, dan Malang karena luka-luka akibat kekerasan aparat.
Angka tersebut tidak termasuk mereka yang disiksa ketika dilakukan penangkapan. Aksi-aksi yang menjalar dan berubah menjadi kerusuhan juga telah memakan korban meninggal sebanyak 10 orang per 1 September 2025.
Pasca pidato Presiden Prabowo tersebut, patroli gabungan dilakukan dengan konvoi prajurit TNI. Di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta, kendaraan tempur Anoa 6×6 dikeluarkan untuk terlibat dalam patroli atau konvoi.
Kendaraan ini yang pada 2 September 2025 tengah malam berhenti dan menghadap kampus Universitas Islam Bandung dan Universitas Pasundan ketika aparat gabungan melakukan penyerbuan dalam kampus untuk menembakkan gas air mata ke arah massa mahasiswa yang sudah selesai aksi lebih dari 2 jam setelahnya.
Konvoi di Jakarta menunjukkan bahwa komandan regu militer yang berpatroli memerintahkan prajurit untuk membubarkan kerumunan-kerumunan.