Ancaman AI pada Psikologis Anak, Pemerintah Dinilai Belum Siap Hadapi Dampaknya
Jakarta, Infoaceh.net – Kecerdasan buatan (AI) kian merasuk dalam kehidupan anak-anak Indonesia. Namun, di balik pesatnya teknologi, pemerintah dinilai belum sigap menangani potensi dampak psikologis yang mengintai generasi muda.
Psikolog klinis dari Eka Hospital Bekasi, Annisa Axelta, mengungkapkan gejala awal gangguan mental akibat interaksi anak dengan AI mulai tampak. Meski belum banyak kasus yang secara eksplisit menunjuk AI sebagai penyebab utama, bukan berarti Indonesia bebas dari ancaman ini.
“Belum banyak bukan berarti belum ada. Bisa jadi belum dikenali. Tapi indikasinya sudah mulai muncul,” ujar Annisa kepada CNNIndonesia.com, dikutip Jumat (22/7/2025).
Ia menyebut sejumlah gejala seperti meningkatnya rasa kesepian, gangguan komunikasi interpersonal, serta perubahan pola kelekatan antara anak dan orang tua. Anak-anak yang lebih sering berinteraksi dengan AI ketimbang manusia cenderung menunjukkan ketergantungan pada respons instan dan interaksi satu arah.
“AI membuat anak terlalu nyaman dengan interaksi yang cepat dan selalu tampak benar. Ini menjauhkan mereka dari realitas sosial yang kompleks dan penuh ketidakpastian,” tegasnya.
Annisa memperingatkan, bila tidak segera diintervensi, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan akan muncul lonjakan gangguan identitas, isolasi sosial, hingga burnout digital, terutama di kalangan remaja. Ia mengingatkan bahwa ketika AI menjadi pusat interaksi, anak akan kehilangan momen penting dalam proses pembelajaran sosial dan relasi keluarga.
Namun ironisnya, hingga saat ini belum ada satu pun kebijakan spesifik dari pemerintah yang mengatur interaksi anak dengan AI. Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, mengakui bahwa isu AI belum menjadi bagian dalam survei dan kajian nasional.
“AI belum masuk radar kami. Dalam survei cyberbullying 2024 saja, AI belum jadi diskusi. Mungkin baru 2025 atau 2026 akan mulai dipertimbangkan,” ujar Pri.
Ia menyebut, problem utama bukan semata-mata ketiadaan regulasi, melainkan kesenjangan pemahaman antara anak dan orang tua. “Anak-anak adalah digital native. Sementara orang tua masih meraba-raba. Konflik muncul karena ketimpangan itu,” katanya.
Pri menegaskan, menangani dampak AI bukan tugas satu kementerian saja. Butuh pendekatan kolektif dan lintas sektor, mulai dari pemerintah, sekolah, komunitas, hingga orang tua.
“Seperti pepatah Afrika: butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak. Begitu pula menghadapi AI, kita semua harus terlibat,” tutupnya.