BANDA ACEH, Infoaceh.net — Dalam hitungan detik, video singkat dengan musik cepat dan transisi kilat mampu memikat jutaan anak muda di seluruh dunia. Fenomena ini dikenal dengan istilah velocity — tren video berdurasi pendek yang kini menguasai TikTok dan Instagram Reels.
Sekilas, velocity terlihat hanya sebagai hiburan ringan. Tapi di balik efek cepat dan gaya sinematiknya, tren ini punya sisi lain: candu digital yang perlahan mengubah cara berpikir dan berperilaku generasi muda, terutama Generasi Z.
Apakah velocity bisa disebut “narkotika digital”? Tidak dalam arti zat, tapi karena efeknya pada otak—mendorong pengguna terus menonton, meniru, dan mengulang tanpa henti, sampai kehilangan kendali waktu dan fokus.
Tren ini sudah mendunia. Dari Indonesia sampai Korea Selatan, para idol K-pop seperti Enhypen, IVE, NCT, hingga Rizee ikut mempopulerkan gaya video cepat ini. Bagi Gen Z yang tumbuh di dunia serba instan, velocity jadi simbol ekspresi diri dan gaya hidup digital.
“Velocity bukan sekadar tren, tapi bahasa baru anak muda di dunia digital,” kata seorang pengamat media sosial di Banda Aceh.
Meski begitu, tren ini juga punya sisi positif. Banyak anak muda belajar menyusun tempo, ritme, dan visual dengan artistik. Mereka bisa mengekspresikan diri tanpa kata, cukup lewat warna, musik, dan gerak. Tak sedikit yang kemudian viral dan mendapat tawaran kerja sama hingga penghasilan dari brand besar. Dunia digital kini menjadi panggung ekonomi baru bagi mereka yang kreatif.
Namun di balik semua itu, velocity bisa jadi jebakan dopamin. Banyak pengguna terjebak berjam-jam hanya untuk menonton video cepat. Awalnya lima menit, lalu setengah jam, dan berlanjut tanpa terasa.
Penelitian oleh Grant, J.E. dkk. dalam Introduction to Behavioral Addictions menjelaskan bahwa kecanduan tak selalu soal zat kimia. Aktivitas digital seperti bermain game atau menonton media sosial berlebihan juga bisa memicu kecanduan otak.
Hal yang sama disampaikan Anna Lembke dalam bukunya Dopamine Nation: Finding Balance in the Age of Indulgence. Ia menyebut paparan dopamin dari media sosial dapat mengganggu keseimbangan otak, membuat seseorang terus mencari sensasi instan.
Dampaknya nyata: kecemasan, perfeksionisme digital, penurunan produktivitas, hingga ketergantungan pada likes dan komentar.
Secara medis, velocity memang bukan narkotika. Tapi secara psikologis, ia bekerja serupa—menciptakan siklus dopamin yang membuat otak terus mengejar kepuasan cepat hingga kehilangan fokus dan kendali diri.
Velocity bisa jadi api yang menghangatkan jika digunakan untuk berkarya dan berjejaring, tapi juga bisa membakar bila membuat seseorang kehilangan arah.
Tren boleh datang dan pergi, tapi kendali tetap di tangan manusia. Nikmati setiap beat dan kreativitasnya, tapi jangan sampai tenggelam di dalamnya.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-An’am ayat 141:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”