Menurut Koalisi, pengerahan seperti itu semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil khususnya di wilayah penegakan hukum.
Tugas dan fungsi TNI, menurut Koalisi seharusnya fokus pada aspek pertahanan dan tidak patut masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagai instansi sipil.
“Apalagi, hingga saat ini belum ada regulasi tentang perbantuan TNI dalam rangka operasi militer selain perang (OMSP) terkait bagaimana tugas perbantuan itu dilaksanakan,” ungkap dia.
“Kami menilai bahwa kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjadi dasar pengerahan pasukan perbantuan kepada Kejaksaan. MoU tersebut secara nyata telah bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” sambungnya.
Koalisi memandang tujuan perintah melalui telegram Panglima TNI itu adalah dukungan pengamanan Kejati dan Kejari diseluruh indonesia.
Pengamanan institusi sipil penegak hukum kejaksaan, menurut Koalisi tidak memerlukan dukungan berupa pengerahan personil TNI karena tidak ada ancaman yang bisa menjustifikasi mengharuskan pengerahan satuan TNI.
Pengamanan institusi sipil penegak hukum, menurut Koalisi cukup bisa dilakukan oleh misalkan satuan pengamanan dalam (satpam) kejaksaan.
“Dengan demikian surat telegram itu sangat tidak proporsional terkait fungsi perbantuannya dan tindakan yang melawan hukum serta undang-undang,” kata dia.
“Koalisi Masyarakat sipil memandang bahwa surat perintah ini berpotensi mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia, karena kewenangan penegakan hukum tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan tugas fungsi pertahanan yang dimiliki oleh TNI,” lanjut dia.
Pada aspek ini, menurut Koalisi, intervensi TNI di ranah penegakan hukum sebagaimana disebutkan di dalam Surat Perintah tersebut akan sangat mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia.
Kondisi ini, kata Koalisi, menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan yang ada dengan mencampurkan fungsi penegakan hukum dan fungsi pertahanan.