KPK Sebut 95 Persen Pemilih Coblos Calon di Pemilu Berdasarkan Uang
Wawan menerangkan, kajian tahun 2018 ini bertepatan dengan momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) saat itu.
“Hasil kajian KPK juga mengatakan bahwa pada tahun 2018 yang lalu KPK melakukan kajian bagaimana masyarakat melihat seseorang menjadi apakah itu calon legislatif dan di pilkada,” terangnya.
“Ini adalah salah satu yang terjadi di masyarakat yang kita potret, walaupun memang dari modal sosial, lalu popularitas paslon itu juga menjadi satu hal yang membuat masyarakat memilih. Tapi kalau kita lihat itu angkanya itu 95 persen dan itu sebenarnya tidak lazim,” imbuhnya.
Hasil kajian itu dikuatkan kembali oleh kajian dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), dimana praktik politik uang telah membudaya dan mengkonstruksi proses demokrasi.
Akibatnya, biaya politik membengkak, dan menjadikannya celah rawan bagi para calon peserta pemilu untuk bermain kotor dengan mencari sumber dana yang tidak baik.
Kemudian hasil survei LIPI terhadap Pemilu tahun 2019 mencatat bahwa 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen di antaranya menyebut bahwa politik uang adalah hal wajar.
Fakta ini sangat ironis, sebab jika sosok yang dipilih tidak berintegritas maka bisa dipastikan kebijakan yang akan diambil kelak akan jauh dari harapan masyarakat.
Sementara hasil kajian KPK terkait politik uang menjelaskan bahwa sebanyak 72 persen pemilih menerima politik uang.
Setelah dibedah sebanyak 82 persen penerimanya adalah perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun. (IA)