Penunjukkan tersebut mengulang dan memperpanjang persoalan lama yang belum kunjung dipatuhi oleh pemerintah, yakni penempatan TNI aktif pada jabatan sipil di luar ketentuan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI sebagaimana temuan-temuan dalam catatan kinerja Reformasi TNI yang disusun SETARA Institute dalam beberapa tahun terakhir.
Atas persoalan tersebut, SETARA Institute menyampaikan pendapatnya.
“Penunjukan TNI aktif sebagai Pj Gubernur Aceh kembali memperpanjang kebijakan-kebijakan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI pada masa pemerintahan Joko Widodo. Kebijakan tersebut menggambarkan keengganan pemerintah dalam pelaksanaan reformasi TNI/Polri, serta secara khusus pelaksanaan amanat peraturan perundang-undangan,” terang Ikhsan
Ditambahkannya, penunjukan TNI aktif sebagai Pj Kepala Daerah secara eksplisit bertentangan dengan UU TNI. Jabatan tersebut tidak termasuk ke dalam jabatan sipil yang dikecualikan sebagaimana diatur pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Sehingga, ketentuan yang berlaku harusnya Pasal 47 ayat (1) bahwa prajurit tersebut mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XX/2022 secara tegas menyatakan bahwa pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
Dengan demikian, sebelum menduduki Pj Kepala Daerah, TNI/Polri aktif tersebut justru terlebih dahulu telah mengundurkan diri dari dinas aktif terlebih dahulu untuk mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi.
Dalam pelbagai catatan kinerja reformasi TNI yang disusun SETARA Institute, SETARA telah berulangkali menyampaikan bahwa pemerintahan sipil seharusnya turut memastikan profesionalitas alat negara (TNI-Polri) dengan tidak memberikan jabatan-jabatan sipil tertentu di luar ketentuan UU TNI.
Reformasi TNI dan Polri harus berjalan dua arah atau timbal balik: TNI-Polri fokus melakukan reformasi, sementara presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat Konstitusi dan peraturan perundang-undangan.