Aceh Selatan, Surga Izin Tambang di Tengah Defisit Anggaran Daerah
Oleh: Habibi – Sekretaris Kaukus Pemuda Peduli Aceh Selatan (KP2AS)
Bayangkan sebuah kabupaten yang sedang mengalami krisis fiskal, dihimpit utang ratusan miliar rupiah, namun dalam waktu yang hampir bersamaan, justru membagikan izin tambang layaknya kue ulang tahun. Inilah yang kini terjadi di Aceh Selatan.
Tahun 2024 mencatat babak baru dalam sejarah pertambangan daerah ini. Hanya dalam enam bulan, empat izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi baru diterbitkan dengan total konsesi mencapai lebih dari 2.800 hektare.
Tak tanggung-tanggung, semua izin ini diberikan untuk eksplorasi komoditas bernilai tinggi seperti emas dan bijih besi.
Adapun perusahaan yang kini resmi menggenggam wilayah tersebut adalah:
- PT Bersama Sukses Mining
- PT Samasama Praba Denta
- PT Acsel Makmur Alam
- PT Aceh Bumoe Pusaka
Sementara tiga perusahaan lainnya telah lebih dulu memperoleh izin di masa pemerintahan sebelumnya. Bila dijumlahkan, lahan tambang eksplorasi di Aceh Selatan kini meluas hingga hampir 6.600 hektare. Untuk daerah yang secara geografis masih bergantung pada sektor agraris dan perikanan, angka ini jelas mencemaskan.
Defisit Menganga, Solusi Tambang?
Yang membuat publik tercengang bukan hanya jumlah izin yang dikeluarkan, tapi waktu dan situasinya. Tahun anggaran 2024 menunjukkan bahwa pemerintah Aceh Selatan tengah menanggung utang sebesar Rp184,2 miliar, dengan defisit riil mencapai Rp267 miliar.
Lalu muncul pertanyaan kritis: benarkah izin-izin tambang ini ditujukan untuk mendongkrak penerimaan daerah? Atau sekadar respons instan yang tidak memperhitungkan risiko jangka panjang?
Padahal sejarah telah mengajarkan, tambang bukanlah solusi ajaib. Bahkan di banyak wilayah, kehadiran tambang justru menghadirkan kerusakan ekologis, konflik agraria, dan marjinalisasi masyarakat lokal.
Aceh Selatan pun bukan tanpa jejak buruk. Beberapa perusahaan sebelumnya telah dicabut izinnya karena gagal menjalankan kewajiban, meninggalkan masalah yang belum tuntas hingga kini.
Peran Pemerintah Daerah Tak Bisa Dikecilkan
Sering kali, kepala daerah bersembunyi di balik kewenangan Pemerintah Provinsi yang diatur dalam Qanun Aceh No. 15 Tahun 2017. Padahal qanun itu juga menggariskan bahwa pemberian izin tambang harus melalui rekomendasi kabupaten/kota.
Artinya, seorang bupati atau penjabat bupati memiliki tanggung jawab langsung, bukan hanya administratif, tetapi juga moral dan politik.
Penerbitan izin-izin ini jelas tidak mungkin terjadi tanpa peran aktif pemerintah daerah. Maka, pembelaan semacam “kami hanya mengikuti prosedur” terdengar lemah dan tidak bertanggung jawab.
Tambang Bukan Musuh, Tapi…
Kita tentu tidak anti-investasi. Namun, investasi yang baik harus membawa manfaat bagi rakyat, tidak merusak lingkungan, dan dijalankan secara transparan serta akuntabel. Investasi bukan soal masuknya modal semata, tapi tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.
Sudah saatnya kita bertanya lebih serius:
Apakah masyarakat lokal terlibat dalam proses perizinan ini?
Apa kompensasi yang mereka terima?
Bagaimana mekanisme pengawasan dan transparansi pasca-izin?
Tanpa jawaban yang memadai, maka laju eksplorasi ini hanya akan menjadi eksploitasi yang dibungkus legalitas.
Penutup: Panggilan untuk Kesadaran
Aceh Selatan hari ini seperti sedang menukar masa depannya dengan janji sesaat. Izin-izin tambang yang dikeluarkan tanpa dasar analisis yang matang adalah bentuk kegagalan kepemimpinan, yang akan diwariskan kepada generasi mendatang.
Sudah waktunya kita membalik logika pembangunan. Jangan lagi menggadaikan tanah dan hutan demi mimpi-mimpi palsu pertumbuhan ekonomi.
Aceh Selatan butuh kepemimpinan yang tidak hanya taat prosedur, tapi juga punya visi dan keberanian untuk berkata “tidak” pada investasi yang tak berpihak pada rakyat.