Antara Simbol Rekonsiliasi dan Bayang-bayang Kekecewaan
OLEH: SUGIYANTO EMIK*
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali bertemu dengan pendahulunya Joko Widodo (Jokowi) dalam sebuah momen yang sarat makna Politik. Pertemuan berlangsung ketika Prabowo melakukan kunjungan kerja ke Solo dan menyempatkan diri bersilaturahmi ke kediaman Jokowi pada Minggu malam, 20 Juli 2025.
Keduanya kemudian menikmati makan malam bersama di sebuah warung bakmi Jawa dalam suasana yang hangat dan santai. Alunan musik keyboard tunggal dan lagu yang dibawakan oleh Giring Ganesha menambah semarak pertemuan tersebut. Sejumlah tokoh penting turut hadir, termasuk Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan beberapa menteri Kabinet Merah Putih.
Kedekatan antara Prabowo dan Jokowi pasca Pilpres 2024 bukanlah hal yang mengejutkan. Jokowi dinilai berperan besar dalam mengantarkan kemenangan Prabowo. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo secara terbuka mengakui kontribusi tersebut, bahkan meneriakkan yel-yel “Hidup Jokowi” di hadapan publik. Ini menunjukkan adanya pergeseran besar dalam lanskap politik nasional, mengingat keduanya pernah menjadi rival sengit dalam dua kontestasi Pilpres sebelumnya.
Pertemuan mereka kini menjadi simbol rekonsiliasi yang kuat, membawa pesan persatuan dan kesinambungan. Namun demikian, mungkin tidak semua pihak menyambut kedekatan ini dengan antusias. Sebagian pendukung Prabowo, khususnya mereka yang sejak 2014 dan 2019 menjadikannya simbol oposisi terhadap pemerintahan Jokowi, boleh jadi merasa kecewa.
Ada banyak kelompok masyarakat yang selama ini berada dalam barisan oposisi terhadap pemerintahan mantan Presiden Jokowi. Harapan mereka terhadap perubahan dan sikap oposisi yang tegas tampaknya belum sepenuhnya terwujud.
Kedekatan yang terbangun antara Prabowo dan Jokowi bisa saja dinilai terlalu demonstratif dan kurang sensitif terhadap luka politik masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh. Dalam konteks ini, Presiden Prabowo dituntut untuk bersikap bijaksana dan strategis dalam mengelola harapan publik. Ia tidak hanya berperan sebagai pemimpin administratif, tetapi juga harus tampil sebagai figur pemersatu yang memahami dinamika emosional masyarakat serta mampu menjembatani beragam aspirasi yang ada.