Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

BSI Belum Bersyariah? Pemerintah Aceh, DPRA dan DSA Harus Hadir Mencari Solusi

Oleh: Dr Tgk H Ajidar Matsyah Lc MA*

Dalam beberapa hari terakhir ini, masyarakat Aceh dikejutkan dengan wacana Pemerintah Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melakukan revisi kembali terhadap Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh.

Menguatnya wacana ini dilandasi dampak kerusakan (error) sistem layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang mengundang reaksi masyarakat Aceh beberapa hari lalu.

Kasus yang menimpa BSI selama ini, setidaknya telah terjadi dua kali. Pertama, kegaduhan terkait BSI di Aceh pernah muncul saat masa-masa penggabungan atau merger tiga lembaga keuangan, yaitu Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah dan BRI Syariah, melebur menjadi BSI (Bank Syariah Indonesia).

Saat itu, nasabah disibukkan dengan urusan pengalihan buku rekening, e-banking, ATM dan transaksi lainnya. Banyak pegawai yang dulunya bekerja dengan tenang di masing- masing bank (BNI Syariah, Mandiri Syariah, BRI Syariah), kehilangan pekerjaannya atau dipindahtugaskan ke tempat lain.

Kebijakan ini tentunya merupakan kebijakan Pemerintah Pusat
di Jakarta, bukan menjadi kewenangan Pemerintah Aceh.

Artinya, kegaduhan akibat peleburan
ketiga bank tersebut menjadi BSI bukan diakibatkan oleh produk Qanun LKS, melainkan murni
dari dampak kebijakan pemerintah pusat sendiri.

Kedua, kegaduhan terkait BSI di Aceh muncul akibat macetnya sistem layanan elektronik bank
BSI yang banyak menimbulkan reaksi negatif nasabah terhadap eksistensi bank ini.

Transaksi mobile banking tidak normal, mesin ATM bermasalah, transaksi bisnis skala kecil dan besar terkendala, bisnis daring macet, pengusaha dan pebisnis merugi, sampai ibu-ibu yang bergerak di bisnis UMKM daring juga ikut merugi akibat kerusakan sistem layanan dan transaksi BSI berhari-hari.

Termasuk dampak pada aktivitas transaksi dunia kampus. Sebagian mahasiswa tidak dapat melakukan pembayaran biaya pendaftaran dan biaya SPP-nya.

Jika dicermati lebih bijaksana, terjadinya kerusakan sistem bank
BSI di Aceh, bukanlah akibat dari Qanun LKS, tetapi juga dikarenakan sistem bank BSI yang terkena serangan hacker melalui ransomware LockBit 3.0.

Kelompok ini bergerak secara global
dan menyerang berbagai lembaga keuangan di dunia dengan ancaman pencurian data dan penyebaran virus.

Bercermin dari dua hal tersebut, maka jelaslah persoalan yang menimpa BSI bukanlah diakibatkan oleh keberadaan Qanun LKS, tetapi murni terkait dengan persoalan manajemen dan keamanan
teknologi BSI sendiri.

Sehinga menjadi pertanyaan, kenapa Qanun LKS yang harus direvisi dan mengembalikan Bank Konvesional?

Ini merupakan hal yang tidak ada hubungannya sama sekali, sehingga rencana revisi Qanun LKS atas alasan tersebut diibaratkan dalam adagium Aceh dengan “Meubalek cak meutuka cok”.

Kesyariahan BSI

Imbas serangan hacker terhadap BSI, secara sadar telah berdampak pada meluasnya komplain
nasabah terhadap kesyariahan bank syariah yang beroperasi di Aceh.

Berbagai reaksi miring terhadap bank syariah ini pun tidak dapat dihindari, baik Bank BSI, Bank Aceh Syariah, BCA Syariah dan bank syariah lainnya.

Sebagian masyarakat mengganggap bank syariah, dalam praktiknya sama saja dengan bank konvensional. Bahkan lebih parah dari konvensional, rate-nya lebih tinggi dari bank konvensional, limit penarikan sangat terbatas, keterbatasan akses e-banking, terbatasnya mesin ATM, jangkauan yang tidak meluas ke daerah pedalaman, jaringannya terbatas dan tidak dapat bertransaksi di luar negeri, margin pinjaman lebih tinggi
dan lebih mahal dari bank konvensional, dan berbagai anggapan dan tanggapan negatif lainnya.

Semua respon miring masyarakat terhadap kesyariahan produk bank syariah, termasuk produk BSI, disebabkan oleh praktik internal dari bank-bank syariah itu sendiri.

Jadi, bukan disebabkan oleh keberadaan Qanun LKS. Maka, kurang tepat rasanya menghubungkan kasus di atas untuk dijadikan alasan melakukan revisi Qanun LKS dan mengembalikan bank konvensional ke Aceh kembali.

Posisi Pemerintah Aceh dan DPRA

Hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menghadapi kegaduhan
masyarakat tentang BSI dan kensyariahan bank syariah di Aceh ialah mengadvokasi BSI, BAS dan
Bank Syairah lainnya.

Apakah produk BSI, BAS dan Bank Syariah lainnya telah sejalan dengan
prinsip Qanun LKS atau tidak? Setidaknya, Lembaga Keuangan Syariah, baik BSI, BAS, BCA
Syariah, maupun bank syariah lainnya yang beroperasi di Aceh, harus memenuhi tiga prinsip-prinsip dasar syariah.

1. Menjaga maslahah dan menghindari mafsadah. Prinsip dasar kesyariahan suatu syariat adalah mampu menjaga kemaslahatan masyarakat (nasabah), dan menghindari mafsadah (kerusakan) terhadap masyarakat secara umum, bukan menjaga kepentingan sekelompok orang atau orang tertentu.

2. Jaminan keadilan. Prinsip dasar syariah dari keadilan ini artinya memberikan hak sesuai haknya atau porsinya. Tidak ada unsur diskriminasi dan intimidasi dalam pelayanan antara strata sosial masyarakat.

3. Tidak sulit dan tidak membebani. Prinsip dasar kesyariahan syariah ini artinya tidak sulit dan tidak membebani alias ringan. Meringankan merupakan prinsip utama dan sangat subtansial dalam setiap produk syariah.

Dari tiga prinsip di atas, jika produk Bank Syariah, BSI, BAS dan lainya belum memenuhi prinsip dasar syariah. Maka, Pemerintah Aceh dan DPRA dengan perangkat DSA (Dewan Syariah Aceh) harus hadir untuk mencari solusi hal-hal tersebut, agar sesuai dengan prinsip syariah.

Bukan memaksa Qanun LKS harus mengikuti kehendak Bank Syariah, BSI, BAS dan lainnya. Bahkan jika
merujuk pada Undang-undang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, seharusnya DSA (Dewan
Syariah Aceh), dapat ditingkatkan kewenangannya untuk dapat mengeluarkan fatwa terkait
Lembaga Keuangan Syariah yang beroperasi di Aceh seperti halnya kewenangan DSN (Dewan
Syariah Nasional).

Di sinilah DSA atas nama Pemerintah Aceh, memosisikan diri sebagai rujukan implementasi prinsip-prinsip syariah di Aceh.

Pemerintah Aceh dan DPRA adalah pemimpin bagi rakyat Aceh. Secara akidah dan syariah, kewajiban pemimpin eksekutif maupun legislatif melindungi rakyatnya dari transaksi ribawi, bukan justru mengundang bank ribawi (konvensional).

Tidak ada teori dalam Islam membiarkan rakyat untuk memilih antara ribawi (haram) dan syar’i (halal), atau membuka peluang Dual
Banking System (Bank syariah dan Bank Konvesional).

Hal ini sama saja dengan talbisul haqqa bil bathil (mencampur adukkan antara yang hak dan batil) dan itu dilarang dalam Islam, sesuai dengan sumber Alquran: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya (Al-Baqarah: 42).”

Dalam kebudayaan masyarakat Aceh, persoalan ini mengingatkan kita dengan petuah lama, “Geupehareum Uleu, Geupeuhaleu Kiree”. Artinya, ular hukumnya haram dan belut hukumnya
halal. Tidak boleh dicampuradukkan antara ular dan belut. Artinya, tidak boleh disatukan antara halal dan haram.

Sama halnya tidak boleh mencampur adukkan antara bank syariah dan bank konvesional.

Posisi Pemerintah Aceh, Gubernur dan DPRA, adalah mandataris pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Wallahu ‘Alam.

*Penulis adalah Pimpinan Dayah Tinggi Islam Samudera Pase, Baktiya Aceh Utara, Pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah (STIES) Baktiya Aceh Utara, Dosen Siasah Syar’iyyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh

author avatar
Redaksi
Redaksi INFOACEH.net

Lainnya

Empat kapal perang Angkatan Laut Thailand dikerahkan dalam Operasi Trat Pikhat Pairee 1 di perbatasan Kamboja-Thailand. (Foto: RTN)
KPK
Presiden Prabowo agar tidak melanjutkan budaya rangkap jabatan yang marak di era Jokowi. (Foto: tangkapan layar/YouTube TV Parlemen)
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, Maman Imanulhaq, menyoroti masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data BPS Maret 2025. (Foto: Ist)
Presiden Joko Widodo melontarkan candaan tajam soal ijazah saat memberi sambutan di reuni ke-45 Angkatan 80 Fakultas Kehutanan UGM, Sabtu (26/7/2025). (Foto: Ist)
Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, tampil beda saat menghadiri reuni Angkatan 80 Fakultas Kehutanan UGM, mengenakan kemeja putih sementara alumni lain seragam biru. (Foto: Ist)
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto untuk menguatkan Pasal 33 UUD 1945 demi kemakmuran rakyat. (Foto: Biro Setwapres)
Presiden Joko Widodo saat menghadiri reuni Fakultas Kehutanan UGM. Teman satu angkatan, Mulyono, menyebut tidak ada jurusan sama sekali pada masa kuliah mereka tahun 1980. (Foto: Ist)
Video viral pengakuan penjual obat daftar G di Pondok Ranggon yang diduga menyetor ke oknum polisi Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Timur. (Tangkapan layar/Instagram @kabarcibubur24jam)
Presiden Prabowo Subianto melontarkan istilah “Serakahnomics” untuk mengkritik praktik ekonomi yang serakah. Istilah ini dikaji secara linguistik oleh pakar dari Unusia. (Foto: dok. Sekretariat Presiden)
Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno saat memberikan keterangan soal maraknya tawuran remaja yang disebut ada yang disetting dan dibiayai, Sabtu (26/7/2025). (Foto: dok. Pemprov DKI)
Presiden Jokowi bersama Mulyono dalam reuni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 di Yogyakarta, Sabtu (26/7/2025). (Foto: tangkapan layar)
Presiden ke-7 RI Joko Widodo menghadiri reuni alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 yang menuai sorotan publik. (Foto: dok. Ist)
Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning menyampaikan orasi dalam peringatan 29 tahun Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025). (Foto: dok. PDIP)
Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning saat berorasi dalam peringatan 29 tahun Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025). (Foto: dok. PDIP)
Streamer Bigmo kembali menuai kecaman usai ucapannya yang dinilai menghina suku Sunda viral di media sosial. (Foto: tangkapan layar YouTube Bigmo)
Klose Foto : Wapres ke-13 RI Ma’ruf Amin saat menyampaikan sambutan dalam Milad ke-50 MUI di Asrama Haji, Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025).
Anggota Komisi V DPR RI, Sudjatmiko, mengkritisi lambannya pembangunan proyek IKN dan meminta pemerintah serius menyelesaikannya. (Foto: dok. DPR RI)
Jailani (45), pelaku pemerkosaan terhadap nenek kandungnya sendiri, saat diamankan polisi usai dihajar massa di Sergai, Sumatera Utara. (Foto: dok. Polres Sergai)
Ketua PKK dan Dekranasda Banda Aceh Dessy Maulidha meninjau pembinaan kerajinan di gampong pangoe deah
Tutup