Oleh: Riandi Armi
PULAU WEH sering dikenal sebagai surga tropis dengan laut biru dan karang yang memikat. Tapi pada awal abad ke-20, sebelum turis mengenal Sabang sebagai kota wisata, seorang peneliti asal Inggris bernama Geoffrey Meade-Waldo justru datang ke pulau ini untuk tujuan ilmiah.
Ia berlayar menggunakan kapal penelitian bernama Valhalla, dan di tengah rimbun hutan lembap Pulau Weh, ia menemukan seekor katak yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya.
Berdasarkan referensi yang dihimpun dan disadur penulis dari berbagai sumber ilmiah dan catatan sejarah zoologi, Pulau Weh ternyata menyimpan kisah unik tentang seekor katak misterius yang hanya pernah ditemukan sekali dalam sejarah.
Ia dikenal dengan nama Bufo valhallae, atau kini disebut Duttaphrynus valhallae. Meski kecil dan seolah tak berarti, kisah katak ini adalah cermin dari betapa banyak rahasia alam Nusantara yang hilang begitu saja tanpa sempat kita pahami.
Dari hasil pengamatannya, Meade-Waldo menulis deskripsi ilmiah yang kemudian dipublikasikan pada tahun 1909. Katak itu berkulit kasar, berwarna zaitun kecokelatan, dengan kelenjar parotoid besar di sisi kepala ciri khas kodok sejati dari keluarga Bufonidae. Dua spesimen betina yang dikoleksi saat itu berukuran sekitar 82 milimeter dari moncong ke ekor.
Untuk menghormati kapal ekspedisinya, ia menamakan spesies itu Bufo valhallae. Namun setelah publikasi tersebut, tak ada lagi kabar tentang hewan ini. Tidak ada peneliti yang menemukannya kembali, tidak ada catatan lapangan tambahan, bahkan lokasi pasti penemuan aslinya pun tak tercatat jelas.
Satu abad lebih kemudian, Bufo valhallae menjelma menjadi legenda sains. Sebuah nama yang bertahan hanya di lembaran jurnal lama dan koleksi museum di London.
Seiring berjalannya waktu, Pulau Weh banyak berubah. Jalan aspal membelah lereng, permukiman tumbuh, dan sebagian besar hutan dataran rendah beralih fungsi menjadi kebun atau lahan wisata. Di beberapa wilayah seperti Gunung Jaboi dan Pria Laot, hutan alami memang masih tersisa, tapi luasnya tak lagi seberapa.
Bagi seekor amfibi seperti Bufo valhallae, perubahan itu bisa berarti akhir dari kehidupan. Amfibi sangat peka terhadap gangguan lingkungan.
Mereka memerlukan air bersih untuk berkembang biak, kelembapan tanah yang stabil, serta tutupan vegetasi yang cukup untuk bertahan hidup. Hilangnya hutan berarti hilangnya rumah dan sumber kehidupannya.
Pulau Weh hanya seluas sekitar 122,13 kilometer persegi. Dengan ukuran sekecil itu, spesies endemik seperti Bufo valhallae hidup di ruang yang sangat terbatas. Maka, ketika habitat alami mulai rusak, risiko kepunahan menjadi amat tinggi.
Seribu Pertanyaan
Sejak 1909, tak ada penelitian yang secara pasti menemukan kembali Bufo valhallae. Para ahli herpetologi yang menelusuri catatan lama tidak menemukan spesimen baru.
Beberapa bahkan mulai meragukan apakah hewan ini benar-benar spesies tersendiri, atau hanya varian lokal dari kodok buduk yang umum di Asia Tenggara, Duttaphrynus melanostictus.
Namun perdebatan ini sulit diselesaikan karena data terlalu minim. Spesimen aslinya hanya dua ekor betina yang disimpan di museum Inggris, dan tidak ada individu hidup untuk dibandingkan secara genetik.
Karenanya, sebagian ahli memindahkan spesies ini ke genus Duttaphrynus, mengikuti perubahan taksonomi modern, tetapi statusnya tetap penuh tanda tanya.
Hingga kini, tidak ada yang tahu apakah Bufo valhallae masih hidup di Pulau Weh, atau sudah lama punah dalam diam. Ia berada di persimpangan antara mitos dan fakta ilmiah atau seperti hantu ekologi yang menghantui dunia konservasi Indonesia.
Meski jarang terdengar, Bufo valhallae menyimpan makna besar bagi Pulau Weh dan Indonesia. Ia adalah simbol keanekaragaman hayati yang rapuh, yang bisa hilang kapan saja jika kita tidak menyadarinya.
Kisahnya menjadi bukti bahwa kekayaan alam tidak hanya terletak di laut biru dan terumbu karang Sabang, tapi juga di dalam hutan-hutan kecil di punggung gunung dan lembah yang lembap. Katak ini mungkin kecil, tapi nilainya besar bagi ilmu pengetahuan dan sejarah evolusi Nusantara.
Di mata dunia ilmiah, Bufo valhallae termasuk kategori “Data Deficient” (DD) menurut IUCN, artinya belum cukup data untuk menentukan status ancamannya. Namun dalam workshop konservasi Sumatra (CAMP 2003), para pakar Indonesia menempatkannya sebagai “Endangered” (Terancam Punah) karena habitatnya yang amat terbatas dan terancam rusak.
Dengan kata lain, katak ini mungkin sedang menuju kepunahan sebelum sempat kita mengenalnya lebih dekat.
Minim Riset di Pulau Kecil
Ironisnya, penelitian tentang fauna daratan Pulau Weh nyaris tidak pernah dilakukan. Fokus utama kajian ilmiah selama ini lebih banyak ke ekosistem laut.
Padahal kekayaan hayati daratan juga patut diperhatikan.
Dengan kemajuan teknologi saat ini, sebenarnya peluang untuk menelusuri keberadaan Bufo valhallae masih ada. Teknik eDNA (environmental DNA) memungkinkan peneliti mendeteksi keberadaan hewan dari sampel air atau tanah tanpa harus menangkapnya.
Jika metode ini diterapkan di area berhutan lembap sekitar Jaboi, Anoi Itam atau Pria Laot, mungkin ada secercah harapan menemukan jejak biologis katak misterius ini.
Namun untuk itu dibutuhkan kolaborasi antara lembaga penelitian, pemerintah daerah, dan masyarakat. Konservasi bukan hanya urusan ilmuwan, tapi juga tanggung jawab moral kita semua terhadap alam Sabang.
Lebih dari Sekadar Katak
Mengapa seekor katak yang belum tentu masih hidup layak diperbincangkan?
Karena ia adalah bagian dari identitas alam Indonesia. Setiap spesies endemik menyimpan cerita panjang tentang evolusi, isolasi, dan adaptasi.
Pulau Weh, yang terbentuk dari letusan gunung api purba dan terpisah dari Sumatra ribuan tahun lalu, memberi ruang bagi kehidupan yang unik, termasuk mungkin bagi Bufo valhallae.
Jika ia benar-benar punah, maka hilanglah satu bab penting dari kisah evolusi alam di ujung barat Nusantara. Kepunahan bukan hanya kehilangan makhluk hidup, tapi juga hilangnya pengetahuan yang tak tergantikan.
Setiap spesies adalah halaman dari buku besar kehidupan. Ketika satu halaman hilang, kita kehilangan bagian dari cerita bumi ini.
Meski misterius, kisah Bufo valhallae menyimpan inspirasi. Mungkin di sela bebatuan lembap di lereng Jaboi atau di sungai kecil Pria Laot, masih ada satu atau dua ekor yang bertahan.
Mungkin ia hanya menunggu malam hujan untuk keluar, sementara manusia sibuk dengan urusannya sendiri.
Harapan ini tak seharusnya padam.
Pemerintah Kota Sabang bersama akademisi dan komunitas pecinta alam bisa menjadikan kisah Bufo valhallae sebagai panggilan untuk bangkitnya riset biodiversitas Pulau Weh.
Sekolah dan kampus pun dapat menjadikannya bahan edukasi lingkungan bahwa di tanah Sabang, ada makhluk yang begitu langka hingga dunia pun nyaris melupakannya.
Bayangkan jika suatu hari nanti, seorang peneliti muda Aceh menemukan kembali katak legendaris itu. Dunia sains akan menoleh ke Sabang, bukan hanya karena lautnya yang indah, tapi karena dari sinilah lahir kabar tentang kehidupan yang bangkit kembali dari tepi kepunahan.
Lebih dari seabad lalu, Meade-Waldo mungkin tidak pernah menyangka bahwa temuannya di Pulau Weh akan menjadi misteri ilmiah yang bertahan hingga kini. Bufo valhallae kini berdiri di antara batas antara legenda dan kenyataan, antara sains dan harapan.
Kisahnya mengingatkan kita bahwa kekayaan alam Indonesia bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi juga tentang apa yang belum kita temukan.
Dan di tengah perubahan zaman, mungkin sudah saatnya kita menengok kembali ke hutan-hutan kecil Sabang, tempat di mana sejarah, sains, dan keajaiban alam pernah berjumpa lewat seekor katak kecil bernama Bufo valhallae.



