Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
SEJARAH Indonesia tidak hanya ditulis dengan tinta, tetapi juga dengan darah dan air mata. Malam 30 September 1965 menjadi titik paling kelam dalam perjalanan bangsa yang baru dua dekade merdeka.
Persaudaraan yang diwariskan leluhur tiba-tiba terkoyak, anak bangsa saling menghabisi, dan tanah air ini basah oleh darah sesama. Seakan pengorbanan kolektif dalam merebut kemerdekaan tak lagi menjadi perekat kebangsaan.
Hingga hari ini, luka sejarah itu masih menganga, diwariskan sebagai dendam yang sulit sembuh.
Narasi yang kita warisi mengenai G30S/PKI hanyalah kisah tunggal tentang pengkhianatan PKI dan genosida terhadap simpatisannya. Sejarah dipersempit, difabrikasi, lalu dijadikan senjata politik, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga oleh kekuatan asing yang terus berusaha mendiskreditkan Indonesia.
Ironisnya, di tengah keterbukaan informasi global, masih ada suara-suara dari dalam negeri sendiri yang justru mengamini propaganda asing, bahkan menyeret bangsa ini ke pengadilan internasional sebagaimana IPT 1965 di Den Haag dengan jaksa penuntut Todung Mulya Lubis.
Padahal, ribuan dokumen rahasia yang dideklasifikasi oleh Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara NATO membongkar satu fakta penting: tragedi 1965 bukan sekadar konflik ideologi lokal, melainkan hasil orkestrasi intelijen internasional.
CIA, MI6, hingga intelijen Jerman Barat, Italia, Belgia, Turki, dan Australia, semua menancapkan kuku dalam krisis politik Indonesia. Fakta-fakta ini menegaskan bahwa sejarah G30S/PKI bukan hanya harus direvisi, melainkan ditulis ulang.
Pasca-Perang Dunia II, dunia terbelah dalam bipolaritas yaitu blok Barat (AS dan sekutu NATO) berhadap-hadapan dengan blok Timur (Uni Soviet dan Pakta Warsawa).
Doktrin Truman 1947 yang memproklamirkan containment policy mendorong Amerika menghentikan penyebaran komunisme di seluruh dunia.
PKI, dengan 3 juta anggota dan 20 juta simpatisan, menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan RRC. Indonesia pun berubah menjadi “battle ground” utama Asia Tenggara.
Konflik ini semakin tajam ketika Sukarno memilih merapat ke Uni Soviet demi merebut Irian Barat dari Belanda. Uni Soviet memasok alutsista canggih, sementara NATO khususnya Belanda dan Australia cemas.
Puncaknya, perjanjian New York 1962 yang mengembalikan Irian Barat ke Indonesia menambah kecurigaan Barat terhadap Sukarno.
Dalam negeri pun bergolak. PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi menuntut otonomi dan menolak PKI.
Ketidakstabilan politik dan ekonomi dimanfaatkan CIA. Joseph B. Smith, eks-agen CIA, dalam bukunya Portrait of a Cold Warrior membongkar operasi CIA di Indonesia: dari mendanai Masyumi hingga mengutus pilot bayaran, Allen Pope. Walau operasi itu gagal menggulingkan Soekarno, Amerika tidak berhenti.
Tahun 1962, PM Inggris Harold Macmillan mendesak Presiden John F. Kennedy untuk “melikuidasi Soekarno”.
Operasi intelijen gabungan pun digelar, melibatkan negara-negara eks-ABDACOM (AS, Inggris, Belanda, Australia) ditambah Jerman Barat dan Italia. MI6 mengirim pakar propaganda Norman Reddaway, CIA menugaskan Marshall Green sebagai duta besar, sementara Pater Beek seorang pendeta Katolik yang anti-komunis dan anti-Islam diduga menjadi salah satu agen lapangan.
CIA dan MI6 bahkan menyerahkan daftar ribuan anggota PKI kepada TNI untuk “diselesaikan.”
Di sisi lain, blok Timur pun tidak tinggal diam. Uni Soviet menempatkan KGB, Jerman Timur dengan Stasi, Polandia dengan Departemen II, hingga Hungaria dengan AVH, semua aktif membina jaringan di Indonesia, terutama melalui PKI.
Dokumen Stasi yang dideklasifikasi menunjukkan bagaimana mahasiswa Indonesia di Leipzig dan Berlin Timur diproyeksikan menjadi kader yang kelak kembali menguatkan barisan komunis di tanah air.
Dengan demikian, tragedi 1965 sejatinya adalah pertemuan antara konflik internal Indonesia dengan intervensi global. Bangsa ini bukan sekadar korban pertarungan ideologi, tetapi juga pion dalam permainan catur geopolitik dua blok adidaya.
Dokumen-dokumen yang kini terbuka menjadi bukti sahih bahwa campur tangan asing adalah dalang utama pecahnya tragedi nasional 1965.
Bagi Indonesia, kesadaran kolektif ini penting untuk memutus lingkaran dendam. Jalan rekonsiliasi tidak boleh berhenti pada perdebatan siapa korban, siapa pelaku, tetapi harus melampaui itu: menyadari bahwa bangsa ini pernah menjadi sasaran intervensi global.
Seperti ungkapan filosofis yang berbunyi forgive but not forget. Memaafkan demi menyembuhkan luka sejarah, tetapi tidak melupakan agar bangsa ini waspada.
Sebab campur tangan asing tetap menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan NKRI. Rekonsiliasi nasional harus lahir dari konsensus, bahwa perbedaan ideologi tidak boleh lagi dijadikan pintu masuk pecahnya bangsa.
G30S/PKI bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah cermin bagaimana bangsa ini pernah dikhianati oleh konspirasi global. Menyingkap dalang sejati bukan hanya urusan akademik, tetapi fondasi moral untuk meneguhkan kembali kebangsaan.