Oleh: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
BARU-baru ini publik dikejutkan oleh kabar rencana Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (DANANTARA) menanamkan dana awal sekitar Rp16 triliun di pasar modal. Investasi tersebut, menurut Chief Investment Officer (CIO) Pandu Patria Sjahrir, akan disalurkan ke Surat Berharga Negara (SBN) dan saham perusahaan-perusahaan dengan fundamental kuat, termasuk swasta.
Sekilas, langkah ini tampak sebagai strategi elegan negara dalam menggerakkan ekonomi berbasis aset produktif. Namun, di balik narasi modernisasi dan efisiensi investasi itu, terdapat potensi jebakan klasik yang selalu menghantui perjalanan ekonomi Indonesia berupa konflik kepentingan, nepotisme, dan oligarki yang mengintai setiap celah kebijakan publik.
Oligarki di Balik Bayang Investasi Negara
Nama Pandu Patria Sjahrir bukanlah nama asing di lingkaran elite ekonomi Indonesia. Ia adalah keponakan Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, sekaligus pejabat yang punya pengaruh besar dalam kebijakan ekonomi strategis. Selain itu, Pandu juga merupakan Wakil Direktur Utama PT Toba Bara Sejahtra Tbk (TOBA) dan Komisaris Utama GoTo Financial.
Di sinilah publik mulai meraba kemungkinan adanya conflict of interest. Apalagi ketika muncul rumor bahwa Danantara akan menjadi “penyelamat” bagi GoTo, perusahaan teknologi yang kini tengah terpuruk. Per 21 Oktober 2025, harga saham GoTo hanya berada di Rp55 per lembar, jauh merosot dari harga pembelian awal Rp270 pada 2021.
Kejatuhan ini menimbulkan kerugian besar bagi Telkomsel/Telkom, yang memegang sekitar 23 miliar lembar saham GoTo dengan nilai investasi Rp6,4 triliun. Kini, nilai tersebut menyusut drastis, menyebabkan potensi kerugian hingga Rp5 triliun lebih. Di tengah kondisi ini, Danantara justru muncul dengan agenda investasi baru yang membuka ruang bagi penyelamatan perusahaan swasta.
Jika benar Danantara digunakan untuk menalangi GoTo, maka lembaga ini telah berubah dari badan pengelola aset negara menjadi alat cuci dosa korporasi. Sebab, prinsip bailout hanya dibenarkan bila sebuah entitas gagal secara sistemik mengancam perekonomian nasional.
GoTo bukan lembaga keuangan sistemik, ia hanya satu dari sekian banyak perusahaan digital yang gagal mengelola valuasi pasar.
Lebih jauh, keterlibatan keluarga Thohir yakni Erick Thohir, mantan Menteri BUMN, dan Boy Thohir, pemilik GoTo menambah rumit situasi ini. Jika benar Danantara dijadikan perisai untuk menutupi kerugian akibat keputusan investasi yang keliru, maka publik berhak menyebutnya dengan metafora pahit yaitu perawan di sarang penyamun, dimana institusi baru dengan idealisme suci, tapi dikepung para perampok berjas.
Ujian Moral dan Kepemimpinan Negara
Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Danantara adalah “kekuatan masa depan Nusantara.”
Namun kekuatan itu hanya akan berarti bila dijaga dengan moralitas, transparansi, dan keberanian melawan oligarki. Karena sejarah Indonesia berulang kali menunjukkan bahwa setiap instrumen ekonomi yang tidak dijaga etikanya akan berubah menjadi sarang rente.
Filsuf Jean-Jacques Rousseau pernah menulis bahwa kontrak sosial antara rakyat dan negara hanya sah jika negara bekerja untuk volonté générale yakni kehendak umum, bukan kepentingan elit.
Maka, ketika uang publik digunakan untuk menyelamatkan korporasi yang dimiliki orang-orang dekat kekuasaan, kontrak sosial itu runtuh.
Presiden Prabowo kini diuji, apakah ia akan membiarkan lembaga strategis yang baru lahir ini menjadi sapi perah oligarki, atau justru menjadikannya simbol kedaulatan ekonomi nasional.
Tanggung jawab moral pemimpin bukan hanya menegakkan hukum, tetapi memastikan uang rakyat tidak menjadi tumbal permainan kekuasaan.
Danantara adalah amanah baru bangsa, ia lahir dengan wajah murni dan cita luhur. Namun di sekelilingnya, para penyamun telah menanti dengan sabar, menyiapkan perangkap berbentuk “investasi strategis.”
Hanya keberanian politik dan kejujuran moral yang bisa menyelamatkan perawan ini dari tangan-tangan licik yang bersembunyi di balik bendera pembangunan.
Seperti diingatkan Thomas Jefferson, “Ketika pemerintah menjadi alat bagi segelintir orang untuk memperkaya diri, maka republik telah kehilangan jiwanya.”
Kini, sejarah menatap Prabowo, apakah ia akan menjaga jiwa republik itu atau membiarkannya kembali dijarah atas nama investasi masa depan.



