Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Demokrasi Jujur vs Munafik

Shamsi Ali*

Konon kabarnya demokrasi itu dipahami sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, bahwa kekuasaan tertinggi itu sesungguhnya ada di tangan rakyat.

Pengertian di atas tentunya adalah pemahaman demokrasi yang berbentuk liberal. Bahwa demokrasi liberal memang semuanya terpusat pada manusia. Manusia memang menempatkan diri sebagai superman dalam hidupnya.

Pemahaman ini tentunya merupakan antitesis dari konsep teokrasi atau konsep bernegara yang berdasarkan kepada paham agama secara mutlak. Dimana pemerintah diyakini sebagai “representasi Tuhan” dan karenanya memiliki hak sacara mutlak untuk menentukan urusan publik sesuai keyakinan dari agama yang dianutnya.

Antara paham demokrasi liberal dan konsep negara teokrasi sesungguhnya memilki kecenderungan sama. Keduanya adalah konsep yang rentang melahirkan “absolutisme” yang dapat merugikan negara atau bangsa.

Dalam konsep demokrasi liberal rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sering mengantar kepada paham dan praktek hidup yang sesuai dengan kecenderungan rakyat banyak.

Hal ini tentu sangat berbahaya. Karena kebenaran dan kebatilan, khususnya yang berkaitan dengan agama dan moralitas, akan ditentukan oleh arah suara rakyat mayoritas. Jika mayoritas rakyat itu sadar agama dan moralitas tentu masih positif.

Tapi sebaliknya jika mayoritas rakyat telah menyeleweng dari nilai-nilai “kefitrahan” kemanusiaan maka akan terlahir kemudian kebijakan-kebijakan publik yang bertentangan dengan fitrah manusia.

Sebaliknya pada konsep teokrasi kekuasaan tertinggi ada pada pemimpin (Imam) yang diyakini sebagai wakil Tuhan di bumi. Dan karenanya, atas nama agama atau Tuhan, kebijakan publik semuanya ditentukan oleh pemimpin.

Masalahnya adalah pemimpin itu walaupun memang diyakini sebagai Wakil Tuhan (khususnya dalam konteks pemerintahan Syiah), tapi pastinya mereka adalah tetap manusia yang memiliki semua kecenderungan manusia itu (hawa nafsu, dan lain-lain).

Maka sebagaimana teori yang mengatakan bahwa “power tend to corrupt” (kekuasaan cenderung korup/rusak) paham teokrasi ini tidak jarang berakhir pada “kekuasaan mutlak” (diktatorship) yang melahirkan kesemena-menaan dan manipulasi dalam kebijakan publik dan menejemen negara.

Di sinilah kemudian Islam dan praktek publik (kenegaraan) Rasulullah SAW mengambil jalan tengah (wasatiyah). Yaitu mengambil sebuah sistem yang di satu sisi memberikan hak otoritas (kekuasaan) kepada penguasa. Dan kepada taat penguasa (umara) dapat dipandang sebagai “ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Tapi di sisi lain Islam memberikan hak yang dijaga dan dijamin bagi rakyat, bahkan dalam konteks tertentu menjadi kewajiban rakyat untuk melakukan koreksi kepada kekuasaan. Bahwa kekuasaan itu tidak lain adalah amanah dari Allah, sekaligus tanggung jawab untuk memberikan pelayanan (khidmah) kepad rakyat.

Jika kita menelusuri karakter pemerintahan Islam dalam perjalanan sejarahnya, bahkan dari zaman Rasulullah SAW di Madinah, memiliki kecenderungan menapak jalan pemerintahan yang “tawazun” (imbang).

Rasulullah SAW bahkan sebagai Rasul dan Nabi kita yakini menerima wahyu dalam segala urusan aspek kehidupan. Tapi kesadaran akan hak rakyat dalam tatanan kehidupan publik (negara) Rasulullah SAW juga tidak jarang menerima masukan dari para sahabat.

Bahkan beberapa kali justru apa yang diinginkan oleh Rasulullah SAW berbeda dengan keinginan mayoritas umat. Dan Rasulullah SAW kemudian mengambil pendapat mayoritas selama tidak melanggar prinsip ajaran agama. Salah satunya yang kita ingat dalam sejarah adalah kisah perang Khandak atau Parit ketika itu.

Juga dalam hal tawanan perang Badar dimana beliau menerima pendapat Abu Bakar RA ketimbang pendapat Umar RA. Belakangan justru yang dikonfirmasi oleh Allah adalah opini Umar Ibnu Khattab RA.

Pemerintahan Islam yang imbang itu sangat nampak dalam proses pembentukan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam prosesnya beliau (Rasulullah SAW) melibatkan seluruh unsur masyarakat Madinah dari semua kalangan. Padahal realitanya sekali lagi beliau adalah seorang Rasul yang pastinya “tidak mengatakan sesuai keinginannya (hawa) tapi dengan wahyu yang disampaikan” (ayat).

Para Khulafaur Rasyidin semuanya di satu sisi menerima kekuasaan itu sebagai amanah Allah. Tapi amanah itu dalam konteks “khidmatul ibaad” (pelayanan kepada hamba-hamba Nya). Namun di sisi lain mereka semua sadar bahwa rakyat di satu sisi adalah “ra’iyah” (yang digembala, dijaga, diperhatian, dilayani, dan seterusnya). Namun di sisi lain mereka juga memiliki hak (dan/atau kewajiban) untuk mengawal dan mengoreksi kekuasaan itu jika menyeleweng.

Di saat Abu Bakar RA menerima amanah kekuasaan ketika itu beliau berdiri dengan pedang terhunus seraya menyampaikan: “Saya telah dipilih sebagai pemimpin dan belum tentu saya yang terbaik di antara kalian. Maka bantulah saya dalam mengemban amanah ini. Tapi jika saya menyeleweng maka luruslan saya dengan pedang ini”.

Demikian pula Umar, Utsman, Ali, dan semua pemimpin Islam dalam sejarah yang konsisten dengan ajaran Islam. Semuanya menyadari jika kekuasaan itu adalah amanah Allah untuk memberikan prlayanan kepada hamba-hamba-Nya.

Oleh karenanya, dalam konsep nation state saat ini, dimana demokrasi menjadi konsensus dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, umat Islam dan bangsa Indonesia tentunya akan selalu konsisten dengan pemahaman yang imbang itu

Bahwa pemerintah (kekuasaan) punya hak otoritas untuk mengelola negara/bangsa. Tapi juga sadar bahwa dalam tatanan kehidupan bernegara yang demokratis rakyat memiliki hak (bahkan kewajiban) untuk mengoreksi kekuasaan yang cenderung korup tadi.

Saya yakin konsep demokrasi imbang inilah yang dianut di Indonesia. Apalagi memang Indonesia bukan negara agama. Tapi juga bukan negara sekuler liberal. Maka jalan tengah (wasatiyah) menjadi pilihan bahkan karakter kehidupan bernegara dan berbangsa kita.

Dan semua itu tentunya terpatri dalam konsep Pancasila yang secara filsafat menyatukan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebangsaan.

Harapan kita tentunya pemahaman imbang (tawazun) atau moderat (wasatiyah) ini harus dipertahankan secara konsisten. Bahwa pemerintah punya hak untuk mengelola negara berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya. Tapi di sisi lain, rakyat punya hak, bahkan sekali lagi pada tataran tertentu menjadi kewajiban sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, untuk melakukan koreksi kepada kekuasaan.

Di saat rakyat mengambil hak atau melakukan kewajiban koreksi kekuasaan inilah seringkali kemudian pemerintah teruji dalam konsistensi demokrasinya. Apakah siap dikoreksi sebagai konsekwensi paham demokrasi yang dibanggakan itu?

Atau sebaliknya justru alergi kritikan lalu melakukan reaksi yang justru antitesis terhadap konsep demokrasi itu. Kritikan atau koreksi masyarakat dianggap ancaman, lalu terjadi kriminalisasi kepada rakyat.

Kalau itu terjadi, sesungguhnya telah terjadi kemunafikan yang nyata atas nama demokrasi itu sendiri. Semoga tidak!

*Presiden Nusantara Foundation

author avatar
Redaksi
Redaksi INFOACEH.net

Lainnya

Wakil Rektor I USK Prof Dr Ir Marwan
DPD Partai Gerindra Aceh, Selasa (22/7), menerima kunjungan istimewa Pimpinan Perwakilan Parti Islam Se-Malaysia (PAS) Selangor beserta rombongan. (Foto: Infoaceh.net/Fauzan)
Wali Kota Sabang Zulkifli H Adam bertemu jajaran PWI Kota Sabang, Selasa, 22 Juli 2025 di ruang rapat lantai III Sekretariat Daerah Kota Sabang. (Foto: Ist)
645 peserta ikut ujian jalur mandiri penerimaan mahasiswa baru dengan Sistem Seleksi Eleketronik Tahun 2025 di kampus UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Selasa (22/7). (Foto: Ist)
Kepala Bidang Fasilitas Bea dan Cukai Kanwil DJBC Aceh, Leni Rahmasari bersama Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan dan Humas, Muparrih saat berkunjung ke kantor redaksi media INFOACEH.NET di Jalan Prof Ali Hasjmy, Lamteh, Banda Aceh, Selasa (22/7). (Foto: Ist)
Fajri Bugak didampingi tim pemenangan, Suryadi, menyerahkan berkas pencalonan kepada ketua panitia pelaksana Konferensi VII PWI Bireuen tahun 2025, Akhyar Rizki, di kantor PWI setempat, Selasa sore (22/7).
MTsN 1 Banda Aceh meraih penghargaan Kinerja Sangat Baik dari Kementerian Keuangan RI, atas capaian nilai IKPA sebesar 99,35 Semester I tahun 2025.
Komisi IV DPRK Sabang mendesak Wali Kota Sabang segera melakukan perombakan total terhadap manajemen RSUD Sabang. (Foto: Ist)
Kanwil DJBC Aceh melaksanakan pemusnahan rokok ilegal hasil penindakan kepabeanan dan cukai pada Selasa, 22 Juli 2025, di Kantor Wilayah DJBC Aceh. (Foto: Ist)
Presiden Prabowo Subianto
Erick diduga memecat Komisaris Utama (Komut) PT ASDP Indonesia Ferry, Lalu Sudarmadi setelah melaporkan potensi korupsi di perusahaan pelat merah itu kepadanya.
Mantan pecatan TNI AL, Satria Arta Kumbara, yang kini menjadi tentara Rusia, ingin pulang ke Indonesia.
Pemerintah kembali memantik kemarahan publik. Kali ini bukan soal bansos atau proyek mangkrak, tapi rencana pembatasan layanan panggilan suara dan video pada aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram.
Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya mengungkap kasus pemerkosaan dan pencabulan yang dilakukan seorang pria penyandang disabilitas berinisial C (34) terhadap dua korban anak di bawah umur di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Saat pesta pernikahan keduanya digelar menimbulkan insiden hingga tiga orang tewas termasuk polisi di Pendopo Garut, Jabar pada Jumat (18/7/2025) lalu. 
Pesawat-pesawat ditembak jatuh dari udara
komika ternama Abdur Arsyad terlihat berdialog hangat namun penuh makna dengan Sultan Tidore, H. Husain Alting Sjah
Kantor Imigrasi Jakarta Selatan menangkap 24 warga negara asing (WNA) di kawasan Cilandak Barat dan Apartemen Kalibata City.
Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) mengklaim Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bukan partai milik keluarga
“Transaksi tertingginya (rekening terindikasi judol) adalah Rp3 miliar lebih. Transaksi terendahnya Rp1.000. Rata-rata deposit kalau dirata-ratakan adalah Rp2 juta lebih,” kata Saifullah Yusuf, dikutip Minggu (20/7/2025).
Tutup
Enable Notifications OK No thanks