Banyak yang menilai bahwa Gibran dianggap sebagai ancaman bagi Prabowo. Bukan Gibran, tapi kekuatan Jokowi yang meletakkan Gibran sebagai bayang-bayang Prabowo.
Tuntutan pemakzulan oleh para jenderal (purn) merupakan petunjuk adanya ancaman itu. Mengapa para jenderal (purn) itu menuntut pemakzulan kalau tidak ada kehawatiran atas potensi lengsernya Prabowo.
Di sinilah publik mesti cerdas membaca apa yang memicu para jenderal (purn) itu ngotot pemakzulan Gibran di tahun pertama Prabowo berkuasa. Takut Gibran capres 2029? Masih terlalu jauh. Takut Prabowo jatuh sakit, lalu meninggal di periode pertama? Prabowo sehat, dan semakin sehat. Lalu, apa trigger-nya? Ini yang menarik untuk anda telisik.
Isu ijazah palsu dan tuntutan pemakzulan Gibran tidak hanya merepotkan Jokowi, tapi semakin berhasil men-downgrade politik dinasti Jokowi. Siapa pun dalam posisi Jokowi, dia akan terjepit. Sementara, Jokowi punya beban untuk mengawal dan membesarkan karir anak dan menantunya.
Jika Jokowi bisa menunjukkan ijazah aslinya ke publik, maka situasi bisa berubah. Pamor Jokowi naik. Berangsur kepercayaan publik ke Jokowi akan membesar. Dengan menunjukkan ijazah asli, Jokowi akan mampu merehabilitasi keadaan politiknya, sekaligus menampar mereka yang menuduhnya.
Sebaliknya, jika para terlapor kemudian jadi tersangka tanpa membuka ijazah asli Jokowi ke publik, maka ini akan memperburuk kondisi politik Jokowi.
Publik akan semakin marah dan hari-hari akan semakin besar narasi kebencian dan kemarahan publik terhadap Jokowi. Ini secara politik, tentu akan sangat merugikan bagi politik Jokowi itu sendiri. Persepsi publik terhadap Jokowi akan semakin negatif.
Soal isu pemakzulan Gibran, selama posisi Prabowo aman, Gibran juga akan aman. Bagaimana dengan masa depan Gibran di 2029? Ini satu hal yang berbeda..
*(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)