Empat Pulau Lepas, Harga Diri Aceh Hilang
Prinsip hukum internasional ini dapat dijadikan acuan dalam konteks penguasaan wilayah terhadap empat pulau di Aceh Singkil.
Pemerintah Aceh telah sejak lama membangun berbagai infrastruktur dasar, seperti tugu koordinat, dermaga, rumah singgah, dan musala. Masyarakat lokal juga menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial secara turun-temurun di wilayah tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan praktik internasional dan prinsip efektivitas yang diakui dunia, klaim administratif dan historis Aceh atas empat pulau tersebut semakin kuat.
Tidak ada dasar hukum dan logika geografis yang membenarkan pengalihan wilayah tersebut ke provinsi lain, apalagi tanpa konsultasi publik dan proses hukum yang terbuka.
Prinsip Hukum Internasional Terkait Kedaulatan Wilayah
Dalam konteks hukum internasional, pengakuan kedaulatan suatu negara atas wilayah tertentu, khususnya dalam sengketa batas wilayah, merujuk pada beberapa prinsip utama yang telah digunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).
Prinsip-prinsip ini relevan untuk memperkuat klaim Aceh atas empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yang kini dipersengketakan.
- Prinsip Efektivitas (Effectivités). ICJ menilai kedaulatan berdasarkan tindakan nyata dan terus-menerus yang dilakukan oleh suatu negara terhadap wilayah yang disengketakan. Ini meliputi pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan kehadiran administratif. Dalam kasus Sipadan–Ligitan (Indonesia vs. Malaysia, 2002), ICJ memutuskan kedaulatan berpihak pada Malaysia karena menunjukkan pengelolaan aktif, seperti pembangunan mercusuar dan regulasi pariwisata.
- Prinsip Uti Possidetis Juris. Prinsip ini menyatakan bahwa batas wilayah administratif saat kemerdekaan harus dipertahankan. Jika keempat pulau tersebut telah menjadi bagian dari Aceh sejak masa kolonial atau awal kemerdekaan, maka prinsip ini memperkuat posisi Aceh dalam sengketa.
- Tacit Agreement (Kesepakatan Diam-Diam). Jika satu pihak membiarkan pihak lain mengelola wilayah tanpa protes dalam jangka panjang, dapat dianggap menyetujui status tersebut. Dalam konteks ini, keberatan formal dari Aceh atas klaim Sumatera Utara menjadi sangat penting sebagai bentuk penolakan eksplisit.
- Treaty Law (Perjanjian Administratif atau Internasional). Kesepakatan administratif antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992, yang disaksikan oleh Mendagri, dapat dikategorikan sebagai dasar kesepakatan batas wilayah yang sah.
- Peaceful and Continued Display of Sovereignty. Penunjukan kedaulatan ditunjukkan melalui aktivitas damai dan berkelanjutan, seperti pelayanan publik, kegiatan masyarakat, pemilu, serta pembangunan infrastruktur.
- Pemerintah Aceh telah memenuhi unsur ini dengan membangun tugu koordinat, dermaga, rumah singgah, dan musala.
- Dengan dasar hukum internasional tersebut, posisi Aceh atas keempat pulau menjadi sah dan kuat secara yuridis maupun moral. Tidak ada alasan hukum, historis, atau administratif yang dapat membenarkan pemindahan wilayah tersebut ke provinsi lain tanpa mekanisme hukum yang sah dan adil.
*Penulis adalah mantan Pangdam Iskandar Muda, Pengamat Publik dan Tokoh Barat Selatan Aceh
- Aceh Singkil
- batas wilayah Aceh
- dermaga Aceh
- Efektivitas wilayah
- gugatan Mahkamah Agung
- hukum internasional
- identitas wilayah
- keadilan administratif
- Kepmendagri 2025
- Mahkamah Internasional
- Mahkamah Konstitusi
- Mayjen TNI (Purn) Teuku Abdul Hafil Fuddin
- pemerintah aceh
- pengembangan Barsela
- Peta TNI AD 1978
- Peta Topografi
- poros maritim
- Prabowo Subianto
- Pulau Lipan
- Pulau Mangkir Gadang
- Pulau Mangkir Ketek
- Pulau Panjang
- Sejarah Aceh
- Sengketa Wilayah
- Sipadan Ligitan
- Sumatera Utara
- Tapanuli Tengah
- tugu koordinat
- www.infoaceh.net