Jalan Bangkitnya Kedaulatan Ekonomi Rakyat
SAYA menyimak pidato itu dari awal sampai akhir. Panjang. Riuh. Kadang emosional, kadang jenaka. Tapi tidak kehilangan arah. Di panggung Desa Bentangan, Klaten, Presiden Prabowo Subianto tidak sedang sekadar meresmikan koperasi. Ia sedang meluncurkan peluru pertama dari meriam besar yang ia sebut: revolusi ekonomi rakyat.
Ini?”kalau saya boleh pinjam istilah yang lebih berani?”adalah deklarasi perang. Perang terhadap kesenjangan. Perang terhadap kerakusan. Perang terhadap ekonomi yang terlalu lama dikendalikan dari atas dan melupakan akar rumput.
Yang diluncurkan bukan sekadar koperasi, melainkan 80.081 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih. Ya, delapan puluh ribu lebih. Angka yang membuat sebagian menteri terlihat ragu, tapi Presiden tampak yakin.
“Kalau tidak bisa, saya reshuffle,” selorohnya disambut tawa. Tapi dari wajahnya, saya tahu itu bukan sekadar guyon.
Ekonomi dari Bawah, Bukan Basa-Basi
Presiden tidak bicara dengan istilah-istilah ekonomi makro. Ia tidak membawa slide atau data statistik. Ia bercerita:
Tentang mangga terbaik di Indonesia yang membusuk karena tak ada truk. Tentang pupuk subsidi yang tak pernah sampai ke tangan petani. Tentang beras biasa yang dibungkus ulang dan dijual dengan stempel “premium.”
Tentang penggilingan padi besar yang untung Rp2 triliun per bulan, sementara petani tetap menunggu harga panen yang adil.
“Kalau mereka tidak patuh, akan saya sita, dan akan saya serahkan kepada koperasi,” katanya.
Saya terdiam. Sudah lama saya tidak mendengar Presiden Republik Indonesia mengucapkan kata “sita” kepada pengusaha-pengusaha besar. Bahkan mungkin sejak reformasi. Tapi kali ini, bukan hanya diucapkan, tapi disertai dasar hukumnya: Pasal 33 UUD 1945.
Undang-Undang Dasar Sebagai Senjata Pamungkas
Dalam momen yang dramatis, Presiden menyebut Pasal 33 sebagai roh Republik Indonesia. Bahwa cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara atau koperasi rakyat.
“Kalau tidak berani melawan yang menyengsarakan rakyat, untuk apa jadi Presiden?” begitu kira-kira getaran maknanya.