Oleh: Drs. Isa Alima*
Di tanah yang diberkahi dengan kekayaan budaya dan kearifan lokal, Aceh memiliki tradisi yang begitu kuat akar sejarah dan maknanya: Makmeugang.
Dalam kebudayaan Aceh, Makmeugang bukan sekadar ritual tahunan menjelang bulan suci Ramadhan, Idul Fitri atau Idul Adha.
Ia adalah bentuk nyata dari rasa syukur dan semangat berbagi, yang diwariskan turun-temurun. Ia menjadi momentum mempererat solidaritas sosial dan mempertegas jati diri masyarakat yang menjunjung nilai kebersamaan dan kehormatan.
Namun, seiring berjalannya waktu, makna luhur itu perlahan mengalami erosi.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul pemandangan yang tak lagi mencerminkan keagungan nilai tersebut.
Barisan panjang masyarakat di depan pendopo atau kantor pemerintahan, menunggu sekantong daging dan amplop bantuan, telah menjadi ritual baru yang menyisakan ironi.
Yang seharusnya menjadi perayaan kebersamaan kini menjelma panggung politisasi dan pertunjukan empati semu.
Ini bukan lagi sekadar memberi. Ini telah menjadi bagian dari ritus kekuasaan. Sekantong daging dijadikan pengikat kesetiaan. Rakyat diantrekan, bukan sebagai pemilik kedaulatan, tapi sebagai penerima sisa-sisa belas kasihan.
Bantuan daging yang semula diniatkan sebagai bentuk solidaritas sosial kini disusupi motif pencitraan. Kamera dan media sosial menangkap momen itu, lalu disebarluaskan seolah menjadi narasi keberpihakan dan kepedulian.
Padahal, yang terekam lebih banyak adalah wajah-wajah rakyat yang digiring dalam antrean panjang, bukan karena pilihan, tetapi karena keterdesakan hidup yang memaksa mereka menundukkan kepala.
Mentalitas Belas Kasihan: Cermin dari Ketiadaan Solusi Struktural
Fenomena ini tak hanya menyingkap kegagalan dalam memahami nilai tradisi, tetapi juga memperlihatkan persoalan yang lebih dalam: kemiskinan struktural yang tak kunjung tersentuh akar solusinya.
Bantuan tahunan hanya menjadi pereda sementara dari luka panjang ketimpangan. Tidak ada upaya serius untuk menjadikan rakyat berdiri di atas kakinya sendiri.