Oleh: Riandi Armi*
SABANG bukan sekadar nama di peta. Ia adalah denyut yang berdetak di ujung barat negeri, yang merupakan cerminan wajah Indonesia. Tapi bagi saya, Sabang lebih dari itu, ia adalah tanah kelahiran, rahim yang menumbuhkan kenangan masa kecil yang basah oleh peluh, lumpur, dan tawa.
Saya lahir di pulau ini, tumbuh di bawah langit biru yang luas, di antara bukit yang dipagari benteng dan laut yang berkilau bagai kaca.
Dulu, kami anak-anak Sabang tak tahu apa itu smartphone, tak kenal dunia virtual. Dunia kami adalah tanah, batu dan bayang-bayang bunker tua peninggalan perang dunia.
Di bawah rumah kami, di kaki bukit, dan di tepi pantai, tersimpan dunia lain yang nyaris tak terlihat, jaringan lorong bawah tanah, benteng pengintaian, ruang amunisi, dan parit pertahanan yang mengular dari hutan hingga pesisir.
Orang-orang menyebut Sabang sebagai “Kota Seribu Benteng”. Tapi bagi saya, itu lebih dari sekadar julukan. Itu adalah fakta yang bernafas, kadang bergema, kadang mendesah, tergantung siapa yang mau mendengarnya.
Sebagai anak-anak, kami tak tahu arti sejarah. Kami hanya tahu bahwa benteng dan bunker itu adalah taman bermain terbaik di dunia. Kami bermain petak umpet di antara tembok lumut, bermain perang-perangan di lorong gelap, dan berlari di parit-parit tanah yang dulu digali tentara Jepang.
Di sana kami belajar berani, belajar kehilangan, dan belajar pulang ketika senja tiba.
Kini, ketika saya dewasa, saya menulis kisah ini bukan untuk bernostalgia, tapi untuk mencatat.
Catatan bagi generasi yang jarinya lebih akrab dengan layar daripada tanah. Catatan agar mereka tahu, bahwa sebelum sinyal dan notifikasi datang, Sabang sudah lebih dulu punya jaringan bawah tanah yang menyimpan kisah dunia.
Sabang kini tampak tenang. Jalan Diponegoro menjadi nadi utama kota, membelah jantung Sabang dari pelabuhan ke bukit.
Lalu lintasnya ramai, kantor wali kota berdiri tegak di satu sisi jalan. Tapi tak banyak yang tahu, di bawah jalur aspal yang dilalui kendaraan setiap hari, tersembunyi lorong-lorong tua yang membentang seperti akar waktu.
Lorong itu saya kenal sejak kecil. Di balik rumpun semak, ada pintu beton kecil yang menurun ke bawah tanah.
Dulu kami menyebutnya “benteng Jepang”. Kami bergiliran masuk ke sana, menyalakan lilin, lalu menakuti teman yang paling pengecut dengan teriakan hantu. Kami tak tahu, tempat itu dulu pernah menyimpan dentum perang dan napas ketakutan manusia.
Kini, ketika saya kembali menelusurinya sebagai jurnalis, udara di dalam masih sama, lembab, pengap dan sarat bau karat besi. Tangga sempit menurun, di dindingnya tumbuh lumut berwarna hijau tua. Di setiap tikungan, saya merasa sedang menembus bukan sekadar ruang, melainkan waktu.
Di masa perang, cabang-cabang ini menghubungkan pos pengintaian, gudang amunisi, dan jalur komunikasi bawah tanah yang bisa menampung ratusan prajurit.
Bila dunia mengenal Iwo Jima sebagai pulau kecil yang menjadi panggung heroik perang Pasifik, maka Sabang adalah kembaran sunyinya di barat sama kecil, sama strategis, tapi memilih untuk menyimpan kisahnya di dalam bumi.
Lorong bawah Jalan Diponegoro itu kini seperti tubuh yang sudah lama berhenti bicara, tapi masih mengingat. Bila kau tempelkan telinga ke dindingnya, kadang kau bisa mendengar suara laut dari kejauhan, dan entah mengapa, juga sesuatu yang menyerupai napas manusia.
Sabang Hill Bukit Bermain, Bukit Pertahanan
Di atas tanah Sabang Hill, tempat kami dulu berlari tanpa alas kaki, waktu seperti berhenti separuh abad lalu. Bukit itu masih dipenuhi pohon besar, akar-akar yang melilit tangga kuno dari beton, dan parit-parit pertahanan yang berkelok mengitari lerengnya.
Di sinilah dulu Jepang menempatkan salah satu pusat pertahanan terpentingnya. Dari puncak bukit, seluruh Sabang terlihat, pelabuhan di bawah, laut di barat, dan gugusan pulau di kejauhan. Meriam-meriam berat pernah berdiri di sini, menghadap laut lepas, menanti kapal musuh yang tak pernah datang.
Tapi bagi kami, anak-anak Sabang di tahun-tahun sederhana, bukit ini bukan tempat perang, melainkan taman bermain. Kami menuruni tangga tua yang retak, bersembunyi di balik dinding beton yang dingin, dan tertawa keras-keras agar gema suara kami bergulung dalam lorong.
Saya masih ingat suara napas teman saya yang terengah ketika bermain petak umpet di antara bunker. Kami menunggu di balik dinding, menahan tawa, berharap tak ditemukan. Bagi kami, perang hanyalah permainan.
Kami tak tahu bahwa dinding tempat kami bersandar dulu pernah menahan ledakan bom dan teriakan tentara yang terluka.
Kini, setiap kali saya mendaki Sabang Hill, saya melihat generasi baru yang berbeda.
Anak-anak memegang ponsel sibuk merekam video selfi atau menggulir layar. Mereka berjarak dengan tanah, dengan sejarah, dengan kisah di bawah kaki mereka sendiri.
Mereka tidak salah, mereka hanya lahir di masa yang berbeda. Tapi saya ingin menulis agar mereka tahu, sebelum layar ponsel mengenalkan dunia, ada dunia lain yang bisa disentuh, dihirup dan dijelajahi dunia yang membentuk siapa kita.
Dari Cot Batre ke Lembah Alu Lhok
Perjalanan saya berlanjut ke Cot Batre, Gampong Aneuk Laot. Di sini, dulu meriam besar peninggalan Jepang masih berdiri dengan kondisi masih layak dan berfungsi Meriam itu menghadap laut, seolah masih menunggu pesawat musuh di langit yang kini hanya dilewati burung camar.
Namun, sayang kini meriap itu telah hilang ulah “rayap besi” yang lebih memilih untuk mengkilokan sebagai besi tua daripada dirawat sehingga menyimpan history.
Bunker anti pesawat yang masih bisa dimasuki. Tangga menurun ke ruang sempit, menyingkap dunia yang dulu menjadi jantung perang, tempat komunikasi, ruang peluru, dan pos penjagaan.
Dari dalam bunker, suara ombak terdengar jauh seperti detak jantung Sabang sendiri. Saya menatap dinding itu lama-lama, membayangkan tentara Jepang menatap langit yang sama puluhan tahun lalu, menunggu serangan yang mungkin tak pernah datang.
Di sisi lain pulau, di antara Gampong Ie Meulee dan Cot Bau, ada lembah bernama Alu Lhok. Di sanalah rumah sakit bawah tanah Jepang berdiri. Lorongnya besar, sebagian masih terbuka, sebagian runtuh. Dulu, katanya, di sinilah para tentara dirawat.
Sekarang tempat itu rapuh. Besi-besi penyangganya hilang, digondol “rayap besi”. Orang-orang yang mencuri logam dari sejarah sendiri.
Di sana, tanah mulai turun, dinding mulai retak. Setiap langkah di dalamnya kini adalah perjudian dengan maut.
Bila Iwo Jima punya tugu para pahlawan, maka Sabang punya keheningan. Ia tidak menunjuk dirinya dengan monumen, tapi dengan lubang-lubang gelap yang menatap masa kini dari bawah tanah.
Menjaga Napas yang Tersisa
Sabang kini berubah. Jalan-jalan diperlebar, hotel-hotel tumbuh di pesisir, kapal wisata datang setiap musim. Tapi di balik geliat itu, masih tersisa tubuh tua yang perlahan dilupakan, bunker, benteng, dan lorong-lorong yang menyimpan kisah perang dunia di bawah kota kecil ini.
Beberapa warga dan komunitas mulai berinisiatif membersihkan dan memetakan situs-situs itu. Mereka tahu, sejarah tidak akan hidup tanpa penjaga. Pemerintah kota pun mulai membuka sebagian area menjadi heritage, agar generasi muda tak hanya mengenal Sabang dari pantai, tapi juga dari tanah yang berdarah sejarah.
Namun perjuangan ini tidak mudah. Banyak lorong telah runtuh, banyak besi dijarah, dan banyak cerita mulai kabur bersama orang-orang tua yang menutup mata satu per satu.
Saya menulis catatan ini bukan sebagai romantisme masa lalu, tapi sebagai pesan agar anak-anak Sabang tahu bahwa tanah tempat mereka berpijak adalah saksi dunia.
Bahwa lorong-lorong gelap di bawah kota ini pernah menjadi tulang punggung pertahanan Asia Tenggara.
Di atasnya, kita membangun sekolah, rumah, jalan, dan kantor. Tapi di bawahnya, ada kisah yang masih bernafas. Bila kita diam terlalu lama, mungkin suatu hari lorong-lorong itu runtuh bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam ingatan. Sabang tidak meminta banyak. Ia hanya ingin diingat.
Sabang yang Tak Pernah Tidur
Senja turun di Sabang Hill. Laut memantulkan cahaya oranye, dan angin membawa aroma garam bercampur lumut tua. Dari puncak bukit, kota terlihat kecil, tenang dan bersinar di bawah langit yang perlahan gelap.
Tapi saya tahu, di bawah semua ini, ada dunia lain yang tak tidur lorong-lorong yang masih bernafas, mengingat, dan menunggu.
Saya ingin anak-anak Sabang tahu, bahwa di bawah langkah mereka ada kisah. Setiap retakan di dinding, setiap lubang di tanah, adalah huruf dalam buku besar sejarah yang tidak pernah selesai ditulis.
Mungkin suatu hari nanti, ketika dunia terlalu sibuk dengan layar, seseorang akan membaca catatan ini dan memutuskan untuk turun menelusuri lorong tua, menyentuh dindingnya, dan mendengar sendiri bagaimana bumi Sabang berbisik.
“Aku pernah menjadi benteng. Aku pernah menjadi luka. Tapi aku juga rumah, tempat kalian lahir dan belajar berani.”
Dan di saat itu, sejarah tidak lagi hanya milik masa lalu, tapi menjadi bagian dari darah mereka yang tumbuh di atasnya.
Sabang bukan hanya pulau di ujung peta. Ia adalah hati yang berdetak di bawah tanah, menyimpan napas para pejuang, anak-anak, dan laut yang tak pernah benar-benar diam.
Ia tidak butuh patung besar atau museum megah untuk diingat. Ia hanya butuh seseorang yang mau mendengarkan gema di dalam lorong sebelum gema itu hilang dan kita kehilangan bahasa untuk mengucap namanya.
*Penulis adalah seorang Jurnalis yang tergabung di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Sabang



