Paradoks ini semakin kentara ketika gelombang tuntutan masyarakat sipil menyeruak lewat agenda 17 + 8. Daftar panjang itu memuat beragam persoalan struktural, tapi absen dari satu hal paling fundamental yaitu pertanggungjawaban Presiden. Padahal, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pernah menempatkan nama Jokowi dalam daftar kandidat pemimpin yang dianggap memperburuk situasi korupsi global. Menyingkirkan mata rantai ini sama saja menutup lubang sejarah dengan karpet retorika.
Pertanyaannya, mengapa keberanian itu hilang? Apakah karena trauma simbolik, takut merusak mitos harapan yang dulu sempat begitu kuat? Ataukah ada kalkulasi politik yang menimbang risiko? Apa pun jawabannya, demokrasi kita kehilangan kesempatan emas untuk bersikap jujur terhadap dirinya sendiri.
Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap ruang publik. Sementara C Wright Mills menulis tentang bahaya konsolidasi kekuasaan dalam lingkaran sempit elit. Jika kritik berhenti di pinggiran, sementara pusat kekuasaan dibiarkan utuh, maka tuntutan itu hanya setengah jalan.
Jokowi boleh jadi dikenang sebagai pemimpin yang datang dari rakyat kecil. Tetapi sejarah mungkin lebih jujur bahwa ia akan dicatat sebagai paradoks sebagai sosok yang hadir dengan janji pembebasan, namun meninggalkan ruang publik yang semakin sesak oleh kepentingan segelintir orang. Dan di sanalah demokrasi diuji, apakah kita berani menutup lingkaran dengan mata rantai yang hilang, atau selamanya terjebak dalam lingkaran harapan yang tak pernah selesai.
Penulis: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)