Di titik inilah, kota Sabang sedang mempertontonkan ironi. Di satu sisi, ia sedang membangun diri untuk tampil cantik di mata wisatawan, dengan proyek-proyek infrastruktur yang dipoles demi wajah pariwisata.
Tetapi di sisi lain, ia membiarkan pekerja yang membangun semua itu bekerja dalam kondisi rapuh, tanpa jaminan sosial yang seharusnya melekat.
Betapa paradoksnya: yang dipoles adalah tembok, bukan martabat manusia.
Sastra kehidupan pekerja ini sesungguhnya adalah puisi getir. Lihatlah bagaimana keringat mereka jatuh tanpa pernah dihitung sebagai investasi kesejahteraan.
Dengarlah suara palu dan bor yang mengiringi pekerjaan mereka, bagai mantra kesetiaan yang tak pernah dihargai.
Mereka adalah “pejuang rupiah” yang seharusnya dilindungi, tetapi justru ditelantarkan.
Jika fenomena ini dibiarkan, maka K3 dan BPJS akan terus membusuk menjadi sekadar jargon. Ia hanya akan dipanggil ketika berkas tender diminta, lalu dikubur kembali ketika pekerjaan dimulai.
Dan di tengah proses itu, pekerja tetap menjadi pihak yang paling rentan: yang menanggung risiko tetapi tak pernah mendapatkan jaminan.
Maka, pertanyaan yang patut diajukan: sampai kapan kita rela menjadikan keselamatan kerja hanya simbol? Sampai kapan pemerintah tutup mata, seolah-olah pengawasan hanya tugas seremonial?
Dan sampai kapan pengusaha menganggap nyawa pekerja tak lebih berharga daripada selembar kuitansi?
Opini ini tidak sedang membidik satu-dua kontraktor tertentu. Ia sedang mengingatkan, sebuah kota yang ingin berdiri megah tidak boleh dibangun di atas pengabaian hak asasi pekerjanya.
Infrastruktur tidak bisa disebut “maju” jika darah dan keringat buruhnya tidak pernah dihargai.
Sabang, dengan segala keindahannya, seharusnya juga dikenal sebagai kota yang adil bagi para pekerja. Kota yang menjunjung tinggi keselamatan kerja, bukan sekadar mempercantik wajahnya dengan cat warna-warni sementara tulang-tulang buruhnya terabaikan.
Kota yang memahami pembangunan sejati adalah ketika manusia di dalamnya dilindungi, bukan hanya beton dan jalan yang berdiri gagah.