Lebih dari seabad lalu, raungan lokomotif pernah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat Aceh. Rel baja yang membentang dari Ulee Lheue hingga Langsa bukan sekadar jalur transportasi, tetapi simbol kemajuan dan kebanggaan.
Kini, setelah lebih dari empat dekade mati suri, suara roda besi itu perlahan terdengar kembali lewat Kereta Api (KA) Cut Meutia — meski hanya di lintasan pendek antara Krueng Geukueh dan Kutablang.
Kehadirannya memang belum seberapa, namun maknanya besar. Ia menjadi pengingat bahwa Aceh pernah punya sejarah panjang dalam dunia perkeretaapian, dan masih punya harapan untuk menghidupkannya kembali.
Jejak Panjang dari Ulee Lheue ke Besitang
Sejarah perkeretaapian Aceh dimulai pada tahun 1876, ketika pemerintah kolonial Belanda membangun jalur pertama dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaraja (Banda Aceh) sepanjang lima kilometer.
Tujuannya bukan untuk ekonomi, melainkan strategi militer dalam Perang Aceh. Namun, dari jalur inilah kemudian tumbuh jaringan rel sepanjang 502 kilometer, membentang hingga Besitang, Sumatera Utara.
Kereta di masa itu dikelola oleh perusahaan Atjeh Tram (AT) yang kemudian berubah menjadi Atjeh Staatsspoorwegen (ASS).
Masyarakat Aceh mulai mengenal moda transportasi modern, hasil bumi bisa diangkut lebih cepat, dan ekonomi lokal pun menggeliat.
Sayangnya, kejayaan itu tak bertahan lama. Setelah Indonesia merdeka, berbagai kendala seperti banjir bandang tahun 1976 yang merusak jembatan di Pidie, ditambah meningkatnya ketergantungan pada kendaraan darat, membuat kereta di Aceh kehilangan pamornya.
Pada 1982, roda terakhir berhenti berputar. Rel berkarat, jembatan rusak, dan stasiun terbengkalai.
Kelahiran Kembali KA Cut Meutia
Tiga dekade kemudian, pemerintah pusat mencoba menghidupkan kembali mimpi lama itu. Maka lahirlah KA Cut Meutia — kereta perintis pertama di Aceh, beroperasi sejak 1 Desember 2013. Ia menjadi satu dari sembilan kereta perintis di Indonesia, bersama Bathara Kresna, Lembah Anai dan lainnya.
Lintasan Cut Meutia melayani rute Krueng Geukueh–Kutablang sepanjang 21,45 kilometer, bagian dari proyek besar jalur Lhokseumawe–Bireuen yang kelak membentang hingga 46 kilometer.
Jalur ini menggunakan lebar rel 1.435 mm, menjadikannya proyek pertama di Indonesia dengan ukuran standar internasional pascakemerdekaan.
Sepanjang lintasan, berdiri enam stasiun: Muara Satu, Krueng Geukueh, Bungkaih, Krueng Mane, Geurugok, dan Kutablang.
Pengoperasian dilakukan oleh PT KAI Divre I Sumatera Utara di bawah koordinasi Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Medan.
Dalam kurun Januari–Agustus 2025, KA Cut Meutia melayani 30.527 penumpang dengan tingkat okupansi rata-rata 11 persen.
Jumlah ini memang belum menggembirakan, tetapi menjadi bukti bahwa semangat masyarakat untuk kembali menggunakan transportasi rel belum padam.
Tarifnya hanya Rp2.000 sekali jalan, dengan delapan perjalanan setiap hari dan waktu tempuh sekitar 64 menit. Namun, fasilitasnya masih sederhana — hanya kipas angin, belum berpendingin udara.
Bahkan, tak ada rangkaian cadangan. Jika kereta rusak, layanan otomatis berhenti.
Antara Harapan dan Hambatan
Proyek lanjutan sepanjang 8 km dari Krueng Geukueh ke Muara Satu seharusnya sudah bisa beroperasi tahun ini. Stasiun Muara Satu bahkan sudah siap dengan fasilitas lengkap dan lahan parkir luas. Sayangnya, hingga kini belum ada pergerakan.
Kendala muncul di lapangan: peralatan Jalur Perlintasan Langsung (JPL) yang hilang dicuri, keterlambatan administrasi, dan minimnya pengawasan. Semua ini menambah panjang daftar tantangan reaktivasi rel Aceh.
Di sisi lain, masyarakat belum sepenuhnya melihat kereta ini sebagai moda penting antarwilayah. Banyak yang menganggapnya hanya sarana rekreasi, bukan kebutuhan mobilitas.
Padahal, kehadiran kereta bisa mengurangi ketergantungan pada jalan raya, memperlancar logistik, dan membuka peluang ekonomi baru di sepanjang lintasan.
Untuk menuntaskan proyek Trans-Sumatera Railway di Aceh, terutama jalur Lhokseumawe–Bireuen, diperlukan komitmen pendanaan dan keberlanjutan kebijakan. Jangan sampai proyek ini berhenti di tengah jalan seperti sebelumnya.
Jika jalur ini tersambung, Aceh tidak hanya punya kereta perintis, tapi juga sistem transportasi massal modern yang bisa memperkuat konektivitas antarkota, bahkan lintas provinsi.
Kehadiran KA Cut Meutia, meski masih terbatas, adalah simbol kebangkitan dan tekad. Ia adalah bukti bahwa Aceh masih punya harapan untuk mendengar lagi deru lokomotif melintasi sawah dan pegunungan — seperti masa lalu yang pernah gemilang.
Ditulis oleh:
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat.