Kepala Badan Intelijen Inggris, Richard Moore, menyebut pola ini sebagai debt trap diplomacy. Bahasa kita lebih lugas yaitu disebut sebai ‘jerat hutang’.
China menawarkan pinjaman dengan wajah ramah, tapi di belakang ada kuitansi politik yang jatuh tempo kapan saja.
Indonesia kini sedang berada di rel yang sama. Suku bunga naik, tenor dipangkas, beban membengkak, BUMN terengah-engah. Semua gejalanya identik.
Pertanyaannya, apakah kita sadar sedang digiring, atau justru sengaja masuk perangkap sambil bertepuk tangan?
Jika pada akhirnya Whoosh benar-benar diambil alih China akibat gagal bayar, Indonesia akan kehilangan kendali atas sektor strategis perhubungan darat.
Itu bukan sekadar proyek transportasi, melainkan akses vital yang menyangkut logistik, mobilitas, bahkan pertahanan.
Bayangkan, kunci rumah kita dipegang orang lain, hanya karena kita tak mampu melunasi cicilan sofa di ruang tamu.
Ironi terbesar dari proyek ini adalah klaimnya sebagai simbol kemandirian teknologi.
Faktanya, yang lebih kentara adalah ketergantungan. Pemerintah boleh saja berpose gagah saat meresmikan Whoosh, tapi di meja negosiasi kita terlihat gamang.
Alih-alih menekan bunga pinjaman, kita justru manut ketika syarat diperketat.
Publik pun dibuat bingung, apakah kereta cepat ini benar-benar sebuah pencapaian, atau sekadar proyek mercusuar yang mewariskan utang?
Kedaulatan memang jarang hilang sekaligus. Ia terkikis pelan-pelan, lewat angka, lewat bunga, lewat tanda tangan di atas kertas.
Dulu musuh datang dengan kapal perang, kini mereka datang dengan kontrak pinjaman. Dulu kita mengusir penjajah dengan bambu runcing, kini kita bisa kehilangan kedaulatan hanya karena gagal bayar cicilan kereta.
Bedanya, dulu rakyat tahu siapa musuhnya. Sekarang, rakyat justru diajak bersorak setiap kali kereta melintas, seakan-akan utang yang menjerat itu tidak pernah ada.
Whoosh memang melaju cepat di atas rel, tapi arah lajunya patut ditakuti. Dari Purwakarta ia bisa saja meluncur ke jurang politik dan ekonomi, langsung ke pelukan kreditur yang lihai.