Sekarang para sesepuh sudah renta dan suaranya disepelekan oleh tuan rektor. Bahkan kepala desa pun dihina oleh tuan rektor. Hebatnya para pemuda kampus, dosen masih punya tenaga dan menetap di kampus ini diam seribu bahasa saat orang tua kita dihina, harga dirinya diinjak-injak. Nafsi-nafsi katanya.
Mungkin karena mereka tidak punya rasa memiliki dan tidak pernah shalat di masjid ini, tidak punya naluri mencintai masjid. Inilah wajah topeng-topeng intelektual masa kini. Perkataan tak sesuai aksi.
Hanya melawan pagar dua ratus senti saja tak berdaya, sembunyi di belakang meja apalagi menghadapi penjajah sesungguhnya, mungkin mereka memilih kabur atau lebih baik dikubur saja.
Menyelamatkan Darussalam dari kerakusan segelintir oknum akademisi jauh lebih penting dari pada tujuan meraih akreditasi. Karena keberkahan dan terpeliharanya silaturrahim lebih berharga dibanding prestasi semu.
Semoga cepat atau lambat pagar keangkuhan ini akan roboh sebagai simbol bahwa masih ada jiwa-jiwa yang merdeka di kalangan civitas kampus Darussalam.
*Penulis warga yang tinggal di Kopelma Darussalam