Oleh: Mirza Ferdian
Tugas pejabat publik tidak hanya memimpin, menandatangani berkas, atau memberi instruksi. Lebih dari itu, mereka memikul tanggung jawab moral untuk menjaga martabat manusia — terutama mereka yang sedang menjalankan amanah negara.
Karena itu, tindakan pemukulan yang dilakukan oleh Wakil Bupati Pidie Jaya, Hasan Basri, terhadap seorang petugas Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kecamatan Trienggadeng pada Kamis (30/10/2025), bukan hanya pelanggaran etika pemerintahan, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
Petugas yang dipukul itu bukan lawan politik, bukan pihak yang sedang berseteru, tetapi seorang pelaksana lapangan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) — program nasional yang dirancang Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, tidak kelaparan, dan terbebas dari ancaman stunting.
Sebuah program mulia yang mestinya mendapat dukungan penuh dari semua pihak, justru tercoreng oleh perilaku pejabat yang tak mampu menahan emosi.
Pukulan yang Melukai Kemanusiaan
Apa pun alasan di balik tindakan itu, memukul seseorang yang sedang menjalankan tugas negara adalah bentuk arogansi kekuasaan.
Di hadapan publik, peristiwa itu bukan sekadar insiden personal, tapi simbol dari hilangnya kendali diri dan runtuhnya wibawa moral pejabat.
Bayangkan jika yang dipukul itu adalah anak kita sendiri — pergi bekerja demi tugas kemanusiaan, lalu diperlakukan seperti itu oleh orang yang seharusnya melindungi. Luka fisiknya mungkin sembuh, tapi luka batinnya akan sulit hilang.
Dalam konteks pemerintahan, kekerasan seperti ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga pelanggaran terhadap nilai dasar kepemimpinan.
Karena sejatinya, pemimpin yang beradab adalah pemimpin yang mampu menahan diri, bukan yang paling cepat mengangkat tangan.
Pejabat Bukan Penguasa Emosi
Hasan Basri bukanlah orang baru di dunia politik. Ia sudah tiga periode menjadi anggota DPRK Pidie sebelum menjabat sebagai Wakil Bupati periode 2025-2030.
Pengalaman panjang itu seharusnya membentuk kedewasaan politik, bukan menjadikan kekuasaan sebagai pembenar untuk bertindak semena-mena.
Kepala daerah bukan hanya pemegang kewenangan administratif, tetapi juga role model moral bagi masyarakatnya.
 Ketika ruang publik sudah penuh dengan kegaduhan, pejabat seharusnya menjadi pendingin suasana — bukan sumber api baru yang menambah bara.
Kritik atau perbedaan pendapat dalam birokrasi adalah hal lumrah. Tapi tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan kekerasan. Pemerintah yang baik adalah yang menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin, bukan dengan tangan panas.
Krisis Etika di Ruang Kekuasaan
Insiden ini menyisakan pertanyaan besar: di mana letak etika pemerintahan yang selama ini diagungkan?
Kita sering bicara tentang “good governance”, namun kejadian seperti ini memperlihatkan betapa rapuhnya moralitas dalam praktik kekuasaan di tingkat lokal.
Etika bukan atribut tambahan bagi pejabat, melainkan jantung dari kepemimpinan itu sendiri.
 Seorang pemimpin yang kehilangan etika sejatinya telah kehilangan kelayakannya untuk memimpin.
Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai pengusung Hasan Basri, wajib turun tangan memberikan sanksi tegas. Ini bukan sekadar soal pelanggaran individu, tetapi juga soal martabat lembaga pemerintahan.
Diam berarti membiarkan kekerasan menjadi hal biasa dalam birokrasi.
Antara Jabatan dan Nurani
Kini publik bertanya-tanya: apakah kita sedang menyaksikan seorang Wakil Bupati, atau seorang petinju yang lupa ring dan jadwal tanding?
Cara ia melayangkan tangan lebih menyerupai kombinasi jab–cross–hook, ketimbang sikap seorang pemimpin daerah yang semestinya menebar kesejukan dan keteladanan.
Dalam tinju, pukulan adalah strategi. Dalam pemerintahan, pukulan adalah kemunduran moral.
Dan bila seorang pejabat lebih piawai memainkan uppercut emosi ketimbang argumentasi etika, maka ada yang sangat keliru dalam cara kita memaknai kepemimpinan.
Kekuasaan tanpa kendali adalah bencana. Kekuasaan tanpa etika adalah kehancuran.
Jabatan bukan panggung untuk memamerkan kuasa, tetapi medan pelayanan bagi sesama manusia.
Karena sesungguhnya, yang membedakan pemimpin sejati dan penguasa hanyalah satu hal — kemampuan menjaga nurani.




 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 