Lapas Sukamiskin, “Destinasi Wisata” Bagi Koruptor di Indonesia
LAPAS Kelas I Sukamiskin di Bandung dikenal sebagai salah satu penjara paling kontroversial di Indonesia.
Didesain sebagai tempat menjalani hukuman bagi para terpidana korupsi kelas kakap, penjara ini justru mendapat julukan tak resmi dari masyarakat sebagai “destinasi wisata bagi koruptor.”
Julukan ini bukan tanpa alasan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa para napi korupsi yang seharusnya menjalani masa hukuman dalam kondisi terbatas justru menikmati berbagai fasilitas istimewa: dari sel pribadi dengan kenyamanan kelas hotel, hingga kemudahan keluar-masuk penjara dengan dalih berobat atau izin khusus.
Lebih menggelitik lagi, Sukamiskin diresmikan sebagai “Lapas Pariwisata” oleh Menteri Hukum dan HAM kala itu, Patrialis Akbar, bersama Wali Kota Bandung saat itu, Dada Rosada. Ironisnya, keduanya justru harus menjalani hukuman sebagai terpidana korupsi—dan menghuni lapas yang mereka resmikan sendiri.
Jeruji Rasa Hotel
Dalam beberapa investigasi, termasuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI, ditemukan bahwa sejumlah napi di Sukamiskin membayar mahal untuk bisa mendapatkan “kenyamanan” di balik jeruji. Mereka bisa memilih kamar, mengakses fasilitas elektronik, bahkan menerima tamu secara eksklusif.
Penjara Sukamiskin itu seperti ‘resort khusus’. Mereka yang punya uang bisa membuat sel layaknya apartemen pribadi.
Korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan pelaku yang menyalahgunakan kekuasaan, tapi juga menyangkut sistem hukum yang permisif, bahkan ikut menikmati hasil korupsi.
Inilah mengapa istilah ‘Lapas Pariwisata’ terasa sangat sinis tapi nyata. Penjara bukan tempat pembinaan, tapi sekadar tempat persinggahan sementara yang penuh kompromi.
3 in 1: Pelaku, Penegak Hukum, dan Petugas Lapas
Salah satu akar masalah yang menjadikan Sukamiskin sebagai “destinasi wisata” bagi para koruptor adalah keterlibatan berbagai pihak dalam rantai korupsi itu sendiri.
Ini pola 3 in 1: pelaku, aparat penegak hukum, dan oknum petugas lapas berada dalam satu ekosistem. Semuanya mendapat bagian, semuanya sama-sama menikmati.
Dengan sistem seperti itu, narapidana korupsi tidak pernah benar-benar kehilangan kekuatan atau pengaruh. Mereka bisa tetap mengatur bisnis dari dalam penjara, menerima tamu tanpa pembatasan, bahkan—dalam beberapa kasus—ikut mengatur peta politik nasional.
Simbol Rusaknya Rasa Keadilan
Fenomena Sukamiskin menciptakan jarak antara hukum dan rasa keadilan masyarakat. Rakyat kecil yang mencuri karena lapar bisa dihukum berat dan menjalani hukuman dalam kondisi keras. Sementara koruptor yang merampok miliaran uang negara, justru bisa tetap hidup nyaman meski berada dalam jeruji.
Ini menciptakan ketidakpercayaan publik yang kronis terhadap sistem hukum. Kita seperti hidup dalam parodi hukum: penjara jadi destinasi wisata, bukan hukuman.
Pentingnya reformasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan, terutama yang menyangkut napi korupsi. Tanpa pengawasan ketat, transparansi, dan sanksi serius terhadap oknum aparat, maka istilah “efek jera” hanya akan jadi slogan kosong.
Saatnya Mengakhiri ‘Wisata Jeruji’
Kementerian yang membawahi sistem pemasyarakatan, beberapa kali menyatakan akan melakukan pembenahan. Namun, publik masih menunggu tindakan konkret, bukan sekadar pernyataan normatif.
Kita menyarankan agar pengelolaan lapas bagi koruptor dipisahkan secara ketat, dengan sistem keamanan dan pemantauan digital yang tidak bisa dimanipulasi. Kita harus akui, penanganan korupsi selama ini setengah hati. Kalau penjara saja bisa disulap jadi ‘tempat wisata’, bagaimana rakyat bisa percaya pada keadilan?”
Lapas Sukamiskin, dalam bentuknya yang sekarang, telah menjadi simbol dari rapuhnya integritas hukum di Indonesia. Dari prasasti peresmian yang kini jadi ironi sejarah, hingga kenyataan bahwa banyak napi korupsi hidup nyaman di balik jeruji, semua menunjukkan bahwa kita masih jauh dari cita-cita sistem keadilan yang bersih dan setara.