Melirik Sikap Jokowi terhadap SBY, Wacana Merebut Single Power di Indonesia
Oleh: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
Pengamat politik dari Lingkar Demokrasi Nusantara, Rendy Alamsyah, menyebut relasi antara mantqn Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai “rekonsiliasi yang gagal sejak dini.”
Menurutnya, apa yang tampak hari ini merupakan ledakan dari konflik laten yang tidak pernah selesai sejak 2014.
Meskipun tidak selalu terlihat di permukaan, publik dapat membaca adanya tarik-menarik kekuasaan antara dua kekuatan besar politik ini.
Ketegangan itu kembali mengemuka saat isu ijazah palsu Presiden Jokowi mencuat dan secara tidak langsung menyeret Partai Demokrat ke dalam pusarannya.
Ketika Silfester Matutina—relawan garis keras Jokowi—menyatakan di televisi bahwa ada tokoh besar dari partai berlambang mercy yang terlibat dalam pusaran isu tersebut, konfrontasi antar kedua kubu pun semakin tak terbendung.
Tudingan bahwa SBY berada di balik isu ijazah palsu Jokowi dapat dibaca sebagai reaksi paranoid dari kubu Jokowi, apalagi di tengah derasnya wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan wakil presiden.
Munculnya nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai sosok yang dianggap layak menggantikan Gibran semakin mempertebal ketegangan.
Karakter otoritarian dalam kepemimpinan Jokowi—yang selama ini terselubung—kian nyata dengan politik dinasti yang dibangunnya.
Penempatan Gibran sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto kini mulai terbaca sebagai strategi jangka panjang untuk merebut kembali kekuasaan di 2029, bukan sekadar pengaruh kebapakan dalam politik.
Isu ijazah palsu dan wacana pemakzulan Gibran menjadi dua ancaman utama yang, bagi Jokowi, harus disingkirkan—bahkan jika harus menghalalkan segala cara.
Di sisi lain, kepemimpinan Prabowo sebagai presiden dinilai bisa menjadi batu loncatan strategis untuk memuluskan jalan Jokowi kembali ke puncak kekuasaan.
Kini publik menunggu sikap kenegarawanan Presiden Prabowo. Apakah ia akan membiarkan intrik politik dinasti dan perebutan kekuasaan ini berujung pada konflik horizontal di masyarakat?