Kedua, dari sisi politik, ucapannya menyeret Partai Aceh ke dalam pusaran polemik nasional.
Mualem, sebagai Ketua Umum, kini dipaksa memberi klarifikasi agar pernyataan tersebut tidak menjadi bola liar yang dieksploitasi kelompok yang menghendaki instabilitas.
Namun, ada fakta lain yang patut dicatat. Aksi unjuk rasa 1 September di Banda Aceh berlangsung relatif damai.
Rakyat Aceh tetap menjunjung tinggi hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat tanpa terjerumus dalam kekerasan. Ini menandakan bahwa masyarakat sudah matang secara politik, mampu mengelola perbedaan tanpa mengulang pola konflik bersenjata masa lalu.
Perdamaian Aceh, dengan segala dinamika dan problem implementasinya, adalah simbol kebesaran jiwa rakyat Aceh untuk menjaga amanah sebuah perjanjian.
Di titik inilah ucapan Zulfadli terasa semakin kontra produktif. Di tengah meningkatnya tensi politik nasional akibat gelombang demonstrasi, justru diperlukan sikap kenegarawanan dari elite Aceh, bukan provokasi bernuansa separatis.
Seorang ketua parlemen daerah semestinya menjadi jangkar demokrasi, bukan corong agitasi. Bila dibiarkan, pernyataan seperti ini bisa menurunkan derajat politik Aceh dari teladan perdamaian menjadi ancaman instabilitas.
Pemerintah pusat dan aparat penegak hukum sebaiknya menanggapi pernyataan ini secara proporsional, dengan tetap menghormati kebebasan berekspresi namun tidak kompromi terhadap ujaran bernuansa separatis yang dilakukan pejabat publik.
Dalam demokrasi, kritik boleh keras, tapi ancaman disintegrasi tidak bisa dinegosiasikan. Aceh telah membayar harga mahal untuk kedamaian.
Sudah selayaknya semua pihak, terutama elite politik, menjaga warisan itu dengan bijak, bukan dengan retorika yang membuka kembali pintu konflik.