Angka ini menegaskan bahwa masalah integritas perbankan di Indonesia bersifat sistemik, bukan insidental.
Sejarah juga menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan regulator selalu membuka ruang bagi skandal besar. Jiwasraya dwngan kerugian Rp16,8 triliun, Asabri dengan kerugian Rp22,7 triliun, hingga bailout Bank Century dengan kerugian Rp6,7 triliun, semuanya berakar dari pengabaian prinsip kehati-hatian dan lemahnya pengawasan.
Kasus UOB hanya menambah daftar panjang bukti bahwa pengawasan OJK kerap lebih sibuk membuat aturan di atas kertas, ketimbang menegakkan aturan di lapangan.
Pertanyaannya, apakah OJK benar-benar independen, atau justru terjebak dalam relasi kuasa dengan bank-bank besar?
Jika lembaga pengawas tidak berani menindak, bagaimana publik bisa percaya pada sistem perbankan? Pada titik ini, krisis kepercayaan bukan hanya menimpa bank yang terlibat, tetapi juga mencoreng reputasi OJK sebagai otoritas keuangan.
Kasus UOB harus menjadi titik balik. OJK tidak boleh sekadar menjadi lembaga administratif yang sibuk dengan laporan dan sosialisasi, tetapi harus tampil sebagai penegak hukum yang melindungi hak-hak nasabah.
Tanpa itu, OJK hanya akan dikenang sebagai institusi mandul yang lahir dengan mandat besar, tetapi mati sebagai penonton di tengah maraknya mafia perbankan asing yang bebas bermain di Indonesia.