BRR memulihkan infrastruktur selama lima tahun dan BRA diharapkan menghadirkan tatanan sosial yang tanpa diskriminasi.
Seperti tahun-tahun sebelum, tahun ini peringatan 19 tahun Damai Aceh juga kembali berlangsung. Tentu saja dalam balutan yang semakin sederhana dan kurang kreatifitas.
Publik seolah-olah “dipaksa” melupakannya dan peringatan itu hanya dimaknai untuk sekelompok orang. Apalagi belakangan ini muncul berita ada korupsi di BRA.
Maka pesimis dan skeptis pun diarahkan ke lembaga yang mayoritas diisi oleh mantan kombatan itu. Pertanyaannya apakah peringatan damai Aceh itu masih relevan diperingati?.
Mengapa peringatan itu makin sepi dan seolah diacuhkan oleh Pusat dan masyarakat? Apa benar peringatan itu kini hanya menjadi “gawean” kelompok tertentu?.
Seperti apa sebenarnya peringatan damai Aceh itu agar tidak hanya seremonial tapi menukik ke substansial sehingga damai tidak hanya di baliho, spanduk, dan poster melainkan ada dalam pikiran dan tindakan kolektif rakyat Aceh dan seluruh pemangku kepentingan yang ada di dalamnya.
Konflik, baik itu non bersenjata atau bersenjata merupakan potret buram dan kelam dalam kehidupan berbangsa bernegara. Rasa senasib dan sepenanggungan adalah dua hal yang mempersatukan suku bangsa sehingga kita bernama Indonesia.
Karena itu, ketika di daerah muncul gerakan ingin memisahkan diri dengan NKRI, maka pendekatan keamanan selalu tidak pernah efektif untuk meredam dan menghabisinya.
Hingga saat ini Organisasi Papua Merdeka (OPM) masih bergerilya dan melakukan pembunuhan, penculikan, dan pembakaran fasilitas umum. Meskipun sempat dilabel kelompok teroris, OPM masih belum mati.
Damai Aceh melahirkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Pemerintah Aceh (UUPA). Undang-undang khusus tentang Aceh adalah cita bersama untuk menghadapi masa depan.
Membagi kewenangan dan kepemilikan properti dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana amanat Konstitusi.
UUPA adalah jalan keselamatan dan ingin mewujudkan keamanan yang menjadi prasyarat dalam menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik.