Penulis: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
DALAM ingatan bangsa ini, nama Hoegeng Imam Santoso hadir bukan sebagai nostalgia yang dikemas menjadi cerita moral belaka, tetapi sebagai penanda bahwa kejujuran pernah memiliki kursi terhormat di tubuh penegak hukum.
Hoegeng adalah simbol sederhana namun terang, dimana hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Namun sejarah memperlihatkan bahwa keteguhan seperti itu kerap datang bersama risiko.
Ia diberhentikan bukan karena tidak mampu memimpin, melainkan karena kejujurannya menyentuh wilayah yang dianggap tidak boleh disentuh. Alasannya disebut “peremajaan”, namun penggantinya justru lebih tua. Di situlah kita belajar satu pelajaran yang pahit, bahwa kebenaran tidak selalu menang.
Kini, puluhan tahun setelah masa itu, kita hidup dalam suasana yang berbeda namun berirama serupa. Reformasi menjanjikan ruang baru bagi penegakan hukum yang independen, tetapi janji tidak selalu tumbuh menjadi kenyataan.
Penunjukan Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri melampaui sejumlah seniornya dan menjadi perbincangan mengenai arah kedekatan institusi penegak hukum terhadap kekuasaan politik. Persepsi publik melihat kepolisian lebih sibuk menjaga stabilitas kekuasaan daripada memastikan keadilan berjalan sama bagi semua warga.
Penilaian ini mungkin tidak menyeluruh, tetapi ia tumbuh dari pola dengan penanganan hukum yang tampak selektif, kritik politik yang mudah dipersempit ruangnya, dan kasus-kasus yang menyentuh lingkar kuasa yang seolah kehilangan urgensinya.
Masalahnya bukan pada pribadi semata. Ini soal sistem nilai yang perlahan berubah. Dalam ilmu politik, penegak hukum hanya dapat dipercaya jika berdiri pada jarak yang sama dari semua pihak.
Ketika jarak itu miring, keadilan berubah menjadi persepsi, bukan prinsip. Dan ketika keadilan menjadi persepsi, ia dapat dinegosiasikan, ketika ia dapat dinegosiasikan, ia kehilangan kekuatan moralnya. Kita mungkin masih memiliki hukum, tetapi kehilangan ruh keadilan.
Di tengah keadaan demikian, bangsa ini menghadapi persoalan yang lebih mendasar daripada pergantian pejabat, dimana kita menghadapi krisis kepercayaan.
Survei indeks kepercayaan publik beberapa tahun terakhir menunjukkan fluktuasi yang signifikan terhadap institusi penegak hukum. Kepercayaan yang tidak stabil menunjukkan masalah yang bukan teknis, melainkan struktural.
Negara modern hanya dapat bertahan jika warga percaya bahwa hukum bekerja sama untuk semua. Tanpa itu, negara bergeser menjadi ruang transaksi, bukan ruang kesetaraan.
Hoegeng mungkin sudah lama tiada, tetapi kehadirannya tetap menjadi cermin yang tidak kita buang. Ia menunjukkan apa yang mungkin, bahwa idealisme tidak harus mati, bahwa integritas bukan ilusi, bahwa seorang pejabat publik dapat menjalani hidup tanpa menjual kehormatan.
Di sisi lain, era yang lebih mengutamakan loyalitas politik menunjukkan betapa rapuhnya bangunan keadilan ketika pondasinya dipindahkan dari prinsip ke kedekatan kekuasaan.
Bangsa ini memiliki pilihan penting. Kita dapat terus berjalan dengan menganggap keadilan sebagai formalitas administratif.
Atau kita memilih untuk kembali menyusun pengertian paling dasar tentang keberadaan negara, bahwa negara berdiri bukan untuk menjaga kekuasaan siapa pun, melainkan untuk menjaga martabat warganya.
Kejujuran mungkin tampak sunyi hari ini. Ia tidak selalu mengantarkan jabatan, penghargaan, atau kekuasaan. Tapi sejarah memperlihatkan bahwa yang paling besar bukan kuasa yang dimenangkan, melainkan martabat yang tidak dilepas.
Dan bangsa yang ingin tetap menjadi bangsa, bukan sekadar populasi, harus menjaga agar suara yang sunyi itu tidak padam.



