Kurangnya Investasi & Hilirisasi: Investasi dari pemerintah maupun swasta di sektor agro Barsela masih sangat terbatas. Akibatnya, industri pengolahan hasil pertanian hampir tidak ada di daerah – sawit dijual mentah keluar, nilam diekspor dalam bentuk minyak atsiri tanpa pengolahan lanjutan, dan beras hanya diproduksi sebagai gabah kering.
Minimnya pabrik atau industri hilir berarti sedikit lapangan kerja lokal tercipta. Banyak pemuda akhirnya merantau keluar daerah atau ke Malaysia demi mencari nafkah. Tingkat pengangguran tinggi dan pendapatan per kapita rendah menjadi ironi di tengah hamparan lahan subur Barsela.
Masalah-masalah di atas saling berkaitan, memerangkap sektor pertanian-perkebunan Barsela dalam lingkaran stagnasi.
Padahal, pemerintah Aceh dan pusat sudah pernah menggelontorkan berbagai program – dari pembangunan jalan hingga bantuan modal usaha – tetapi hasilnya dinilai belum cukup. Diperlukan gebrakan yang lebih terpadu untuk memutus kebuntuan ini.
Di sinilah kebijakan dan perhatian dari pucuk pimpinan nasional dan daerah sangat dinanti.
Strategi dan Solusi melalui Kebijakan Presiden Prabowo dan Gubernur Aceh Mualem
Angin perubahan mulai berembus. Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan komitmen kuat pada kemandirian pangan dan nasib petani – sebuah kabar baik bagi Barsela yang agraris.
Dalam beberapa bulan awal pemerintahannya, Presiden Prabowo meluncurkan kebijakan pro-petani yang inklusif.
Contohnya, pemerintah pusat kini menetapkan harga pembelian gabah (HPP) sebesar Rp6.500 per kg, sehingga petani padi mendapat kepastian harga layak.
Selain itu, distribusi pupuk subsidi dibuat lebih tepat sasaran langsung ke tangan petani, dan alat mesin pertanian (traktor, combine harvester, dsb) dibagikan untuk meningkatkan produktivitas.
Langkah-langkah kongkrit ini disambut positif di daerah, sejumlah gubernur – termasuk Gubernur Aceh Muzakir Manaf – mengapresiasi kebijakan baru yang menguntungkan petani tersebut.
Kebijakan nasional yang berpihak pada petani inilah yang diyakini Prabowo sebagai kunci menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia, asalkan dijalankan secara inklusif hingga level akar rumput.