Simulakra Koperasi Desa
Padahal, menurut Gus Anas yang mewakili pesantren, dukungan dari nama-nama baru itu nihil. Pihaknya cabut bukan karena “minta disanjung” tapi soal etika kolaborasi. Kalau yang kerja A, tapi yang disebut B, maka ini bukan koperasi, ini ko-persiapan manipulatif.
Netizen pun bersuara, dan suara mereka lebih pedas dari sambal Roa: “Kayak proyek traktor era Jokowi, habis dibagiin, traktor ditarik.” Ada pula yang bilang: “Koperasi selalu digandeng politik, akhirnya jadi alat politik, bukan alat bantu memajukan ekonomi rakyat.”
Sosiolog Jean Baudrillard mungkin akan menyebut koperasi seperti ini sebagai simulakra, sebuah citra tanpa realita. Ia tampak seperti koperasi, ada plang, ada kasir, ada sembako. Tapi ia tidak lahir dari komunitas. Tidak tumbuh dari kebutuhan. Tidak punya akar.
Dalam kajian ilmiah, koperasi yang sukses, dari Mondragon di Spanyol hingga koperasi pertanian di Jepang, lahir dari kebutuhan organik komunitas. Mereka dibangun karena kebutuhan nyata: pangan, modal, akses pasar. Ada partisipasi aktif, bukan partisipasi selfie.
Sementara koperasi yang lahir dari inisiatif elite sering gagal karena:
– Top down, bukan partisipatif. Warga jadi penonton, bukan aktor.
– Minim edukasi dan pendampingan. Tak semua orang bisa langsung paham koperasi. Butuh proses belajar.
– Orientasi politis sesaat. Dibuat demi pencitraan atau proyek “seremonial”.
– Model bisnis tidak berkelanjutan. Barang disuplai instan, mitra tak dilibatkan, ekosistem rapuh.
KDMP yang ditinggal sesaat itu adalah gejala sistemik dari model pembangunan yang terlalu politis. Gantilah “koperasi” dengan “klinik”, “apotek”, atau “SPBU rakyat”, selama ia lahir bukan dari kebutuhan komunitas dan tanpa akar, maka yang tumbuh hanyalah papan nama.
Koperasi yang ideal adalah tempat warga belajar bersama, menabung, bertransaksi, dan menyusun masa depan bersama. Bukan panggung pentas bagi para penumpang gelap, yang nongol saat kamera nyala, lalu hilang ketika listrik padam.
Koperasi itu institusi kepercayaan. Sekali dikhianati, akan lama pulihnya. Jangan sampai warga makin skeptis, lalu berkata: “Udahlah, koperasi itu bohong semua.” Ini berbahaya. Karena kalau koperasi gagal, maka jalan menuju keadilan ekonomi rakyat pun bisa makin jauh.