Pernyataan Annadwi sendiri yang mengaku menerima uang sebesar Rp500 ribu setiap kali kunjungan ke sekolah justru memperparah situasi.
Pengakuan itu secara hukum dapat dikategorikan sebagai gratifikasi—sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sayangnya, belum ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum, Inspektorat, maupun Dinas Pendidikan Aceh. Surat keberatan dari para kepala sekolah pun belum mendapat tanggapan, seolah dianggap angin lalu.
Padahal, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) sejak awal telah menyatakan komitmennya untuk memperbaiki mutu pendidikan dan memerangi korupsi di lingkungan pemerintahannya.
Penandatanganan pakta integritas bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya menjadi landasan moral dan politik bagi seluruh jajaran di bawahnya.
Namun pembiaran terhadap dugaan KKN di Cabdin Aceh Selatan justru mencederai semangat reformasi yang telah dicanangkan.
Gubernur Aceh harus segera mengambil tindakan tegas. Evaluasi terhadap Annadwi bukan hanya soal penegakan disiplin, tetapi juga demi menjaga marwah pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Dunia pendidikan tidak boleh menjadi ladang rente bagi oknum penyalahguna kekuasaan. Jika dibiarkan, praktik ini akan terus mengakar, dan generasi muda yang seharusnya diselamatkan melalui pendidikan justru akan menjadi korban dari sistem yang korup.