Prinsip Lesser of Two Evils pernah diterapkan dalam konteks politik global, seperti dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Saat itu, masyarakat Amerika menghadapi dilema memilih antara Hillary Clinton dan Donald Trump.
Banyak pihak menganggap Hillary sebagai lesser evils, atau pilihan yang relatif lebih baik dibandingkan lawannya, untuk meminimalisasi risiko yang lebih besar bagi demokrasi.
Perspektif Ushul Fiqh
Dalam kaidah ushul fiqh, pemilihan pemimpin tidak hanya dilihat dari segi politik, tetapi juga mempertimbangkan aspek moral dan etika.
Kaidah yang dijelaskan dalam Asybah wan Nazhair karya Imam As-Suyuthi pada halaman 87 menyatakan, “Ketika salah satu dari dua keburukan tidak dapat dihindari, maka pilihlah keburukan yang dampaknya lebih kecil.”
Kaidah ini mengajarkan bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, untuk menghindari mudharat lebih besar dan mencapai maslahat bagi masyarakat.
Dalam konteks Aceh, pemilih diharapkan dapat mempertimbangkan hal ini dalam menentukan pilihan pada Pilkada 2024.
Pilkada adalah momentum bagi masyarakat untuk menentukan arah masa depan daerah mereka. Meski tidak ada pasangan calon yang sempurna, memilih tetap menjadi tanggung jawab moral dan agama yang tidak bisa diabaikan.
Dalam situasi yang kompleks seperti ini, kaidah lesser of two evils dan ushul fiqh memberikan panduan bagi kita untuk memilih pemimpin yang membawa dampak negatif lebih kecil, demi maslahat yang lebih besar bagi masyarakat.
Namun, pilihan tetap ada di tangan setiap individu. Lalu, di antara pilihan yang ada, siapakah yang menurut Anda pemimpin yang paling sedikit kekurangannya dan mampu membawa Aceh menuju masa depan yang lebih baik?
Penulis:
Teuku Alfin Aulia (Kiri), Mahasiswa Penerima Beasiswa PBNU di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir dan Agamna Azka (Kanan), mahasiswa KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry