Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Syahadat Orang Kantoran: Ketika Atasan Jadi “Tuhan” Kecil

Pernyataan tauhid: “Asyhadu an laa ilaaha illallah” – aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ucapan ini bukan sekadar kalimat pembuka Islam, tapi komitmen total terhadap ketaatan hanya kepada Allah, serta penolakan terhadap segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya.
Riza Syahputra. FOTO/Istimewa Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

*Oleh: Riza Syahputra

Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota, dengan segala tuntutan profesionalisme dan tekanan pekerjaan, seorang pria duduk menikmati malam dengan secangkir kopi arabika Flores. Kehangatan aroma kopi berpadu dengan dinginnya hembusan angin malam, menjadi penawar lelah setelah seharian bergelut dengan tugas dan tanggung jawab. Di tangannya terbuka sebuah buku berjudul “TUHAN Maaf, Kami Sedang Sibuk” karya Ahmad Rifa’i Rif’an, yang menyajikan perenungan-perenungan spiritual di tengah kesibukan dunia modern. Salah satu bagian dari buku itu, yang mengetuk nurani pembaca dengan cukup tajam, adalah tentang “Syahadat Orang Kantoran”.

Frasa itu terdengar asing, namun begitu menyentuh kenyataan. Ia menyuarakan realitas yang kerap luput dari kesadaran banyak orang: bahwa di balik ucapan syahadat yang begitu mudah dilafalkan, tersembunyi ketidakkonsistenan antara keimanan dan perilaku nyata dalam kehidupan profesional.

Mengucap Syahadat: Lisan yang Terbiasa, Tapi Makna yang Terlupa

Bagi seorang muslim, syahadat adalah fondasi iman, inti dari seluruh kepercayaan dan amalan dalam Islam. Ia adalah pernyataan tauhid: “Asyhadu an laa ilaaha illallah” – aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ucapan ini bukan sekadar kalimat pembuka Islam, tapi komitmen total terhadap ketaatan hanya kepada Allah, serta penolakan terhadap segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya.

Namun dalam praktiknya, terutama dalam dunia kerja modern, syahadat sering kali hanya menjadi ritual verbal – sesuatu yang dilafalkan lima kali sehari dalam shalat, namun tak berbekas dalam sikap hidup. Banyak dari kita yang bekerja di kantor – entah sebagai pegawai negeri, karyawan swasta, manajer, atau staf – sering kali secara tidak sadar memindahkan pusat ketaatan dari Allah kepada atasan, institusi, jabatan, bahkan target-target duniawi.

Ketika Atasan Jadi “Tuhan” Kecil

Fenomena ini cukup nyata. Berapa banyak dari kita yang rela melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam hanya demi mempertahankan posisi, gaji, atau citra profesional? Ketika bos memerintahkan manipulasi data, laporan palsu, atau strategi penjualan yang menipu, banyak yang memilih diam, menunduk, dan patuh. Bukan karena tak tahu itu salah, tapi karena takut: takut dimutasi, diturunkan jabatan, bahkan dipecat.

Ini adalah bentuk nyata dari ketakutan yang melebihi rasa takut kepada Tuhan. Dalam kondisi seperti itu, nilai-nilai syahadat seakan hilang. Kita seolah berkata dengan perbuatan: “Asyhadu an laa ilaaha illal-bos, illal-jabatan, illal-gaji.” Kalimat syahadat yang seharusnya menyatakan hanya Allah satu-satunya yang ditaati, berubah dalam praktik menjadi pengakuan ketaatan kepada kekuasaan manusia.

Ketaatan dan Kepatuhan: Antara Profesionalisme dan Iman

Tentu, dalam dunia kerja dibutuhkan loyalitas dan profesionalisme. Kita dituntut untuk patuh kepada aturan perusahaan, mengikuti instruksi atasan, dan memenuhi target kerja. Namun ketaatan tersebut tetap memiliki batas: tidak boleh melanggar syariat dan prinsip moral yang kita yakini. Dalam Islam, ketaatan kepada manusia tidak bisa mengalahkan ketaatan kepada Sang Pencipta.

Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Khalik.” (HR Ahmad). Ini adalah pedoman yang tegas bahwa apapun posisi atasan kita, perintahnya tidak boleh bertentangan dengan perintah Allah. Ketika dua perintah itu bertabrakan, pilihan seorang mukmin sejati seharusnya jelas: Allah di atas segalanya.

Namun kenyataannya, banyak yang goyah. Ketika iman diuji di ruang rapat, banyak yang lebih memilih kepatuhan kepada atasan daripada integritas kepada Allah. Ketika konflik antara nilai Islam dan instruksi kerja muncul, ketakutan terhadap konsekuensi duniawi lebih menonjol daripada harapan akan pahala atau ketakutan akan azab Allah. Inilah yang disebut dalam buku tersebut sebagai bentuk syirik kecil dalam praktik sehari-hari – bukan syirik karena menyembah patung, tapi karena mendewakan perintah manusia di atas wahyu Ilahi.

Godaan Status dan Kenyamanan

Mengapa begitu banyak dari kita yang terjerumus dalam kontradiksi ini? Salah satu jawabannya adalah godaan status dan kenyamanan. Dunia kerja modern menawarkan banyak hal yang memanjakan ego dan nafsu manusia: gaji tinggi, jabatan mentereng, fasilitas mewah, dan pengakuan sosial. Semua itu membuat kita tergoda untuk menutup mata atas penyimpangan kecil – yang lama-lama menjadi besar.

Kita mulai terbiasa dengan kompromi: “Ah, ini cuma sedikit manipulasi laporan,” atau “Nanti saya taubat, yang penting sekarang aman dulu.” Tanpa sadar, kita mulai membangun dinding antara lisan dan tindakan – seolah syahadat cukup untuk diucapkan, tanpa perlu dihidupi dalam keputusan dan keberanian.

Padahal syahadat bukan sekadar deklarasi, tapi komitmen. Ia menuntut keberanian untuk berkata “tidak” kepada perintah yang salah, keberanian untuk mempertahankan integritas meski harus kehilangan jabatan, dan keberanian untuk menempatkan ridha Allah di atas kenyamanan dunia.

Menjadi Muslim Sejati di Tempat Kerja

Menjadi muslim sejati tidak hanya di masjid atau saat shalat, tetapi justru diuji dalam keseharian, termasuk di tempat kerja. Islam bukan hanya agama ritual, tapi sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk etika kerja, kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.

Muslim yang memegang teguh syahadat akan senantiasa menjadikan Allah sebagai pusat ketaatannya, di mana pun ia berada. Ketika ia menjadi karyawan, ia akan bekerja dengan amanah karena tahu Allah Maha Mengawasi. Ketika diperintahkan melakukan sesuatu yang menyimpang, ia akan menolak dengan santun tapi tegas, karena ia lebih takut kepada murka Allah daripada teguran manusia.

Syahadat yang benar akan melahirkan keberanian moral. Keberanian untuk menolak ketidakadilan, melawan korupsi, dan menegakkan kebenaran meski harus berhadapan dengan atasan, sistem, atau bahkan risiko kehilangan pekerjaan. Sebab ia yakin, rezeki datang dari Allah, bukan dari bos. Jabatan adalah amanah, bukan jaminan. Dan kemuliaan sejati adalah di sisi Allah, bukan di kantor atau perusahaan.

Refleksi: Kembali kepada Inti Keimanan

Buku Ahmad Rifa’i Rif’an bukan hanya bahan bacaan, tapi cermin. Ia mengajak pembacanya untuk kembali merenungi makna dasar dari apa yang setiap hari kita ucapkan dalam shalat: syahadat. Apakah kita benar-benar hanya menyembah Allah, atau kita telah menjadikan hal-hal lain sebagai ‘tuhan kecil’ dalam hidup kita?

Refleksi ini penting, bukan untuk menuduh siapa pun, tapi untuk mengajak kita semua kembali mengevaluasi diri. Kita mungkin tak bisa langsung mengubah sistem, tapi kita bisa mulai dari diri sendiri: dari keputusan-keputusan kecil yang kita buat di tempat kerja, dari keberanian untuk berkata “tidak” pada perintah yang keliru, dan dari upaya menjaga integritas meski terasa berat.

Tetap Berusaha Jadi Lebih Baik

Kita semua manusia, dan kita semua pernah terjatuh. Namun yang membedakan orang beriman adalah ia terus berusaha bangkit, memperbaiki diri, dan menjadikan syahadat bukan hanya lafaz di bibir, tapi arah hidup.

Kesempurnaan memang milik Allah, tapi perjuangan untuk menjadi lebih baik adalah tugas setiap insan. Maka, mari kita terus belajar, memperkuat iman, dan menjalani kehidupan profesional kita dengan nilai-nilai Islam yang kokoh. Bekerja bukan hanya untuk mencari nafkah, tapi juga sebagai ladang ibadah dan sarana menunjukkan bahwa syahadat benar-benar menjadi pedoman hidup.

Dan di sela-sela kesibukan itu, jangan lupa menikmati secangkir kopi. Karena dalam jeda itulah kita bisa kembali merenung, mengingat Tuhan, dan menata ulang arah hidup. Seperti kata penulis: Tetap terus berusaha jadi lebih baik dan jangan lupa ngopi!.

Penulis adalah Warga Sipil Penikmat Kopi
author avatar
Redaksi
Redaksi INFOACEH.net

Lainnya

Empat kapal perang Angkatan Laut Thailand dikerahkan dalam Operasi Trat Pikhat Pairee 1 di perbatasan Kamboja-Thailand. (Foto: RTN)
KPK
Presiden Prabowo agar tidak melanjutkan budaya rangkap jabatan yang marak di era Jokowi. (Foto: tangkapan layar/YouTube TV Parlemen)
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, Maman Imanulhaq, menyoroti masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data BPS Maret 2025. (Foto: Ist)
Presiden Joko Widodo melontarkan candaan tajam soal ijazah saat memberi sambutan di reuni ke-45 Angkatan 80 Fakultas Kehutanan UGM, Sabtu (26/7/2025). (Foto: Ist)
Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, tampil beda saat menghadiri reuni Angkatan 80 Fakultas Kehutanan UGM, mengenakan kemeja putih sementara alumni lain seragam biru. (Foto: Ist)
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto untuk menguatkan Pasal 33 UUD 1945 demi kemakmuran rakyat. (Foto: Biro Setwapres)
Presiden Joko Widodo saat menghadiri reuni Fakultas Kehutanan UGM. Teman satu angkatan, Mulyono, menyebut tidak ada jurusan sama sekali pada masa kuliah mereka tahun 1980. (Foto: Ist)
Video viral pengakuan penjual obat daftar G di Pondok Ranggon yang diduga menyetor ke oknum polisi Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Timur. (Tangkapan layar/Instagram @kabarcibubur24jam)
Presiden Prabowo Subianto melontarkan istilah “Serakahnomics” untuk mengkritik praktik ekonomi yang serakah. Istilah ini dikaji secara linguistik oleh pakar dari Unusia. (Foto: dok. Sekretariat Presiden)
Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno saat memberikan keterangan soal maraknya tawuran remaja yang disebut ada yang disetting dan dibiayai, Sabtu (26/7/2025). (Foto: dok. Pemprov DKI)
Presiden Jokowi bersama Mulyono dalam reuni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 di Yogyakarta, Sabtu (26/7/2025). (Foto: tangkapan layar)
Presiden ke-7 RI Joko Widodo menghadiri reuni alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 yang menuai sorotan publik. (Foto: dok. Ist)
Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning menyampaikan orasi dalam peringatan 29 tahun Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025). (Foto: dok. PDIP)
Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning saat berorasi dalam peringatan 29 tahun Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025). (Foto: dok. PDIP)
Streamer Bigmo kembali menuai kecaman usai ucapannya yang dinilai menghina suku Sunda viral di media sosial. (Foto: tangkapan layar YouTube Bigmo)
Klose Foto : Wapres ke-13 RI Ma’ruf Amin saat menyampaikan sambutan dalam Milad ke-50 MUI di Asrama Haji, Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025).
Anggota Komisi V DPR RI, Sudjatmiko, mengkritisi lambannya pembangunan proyek IKN dan meminta pemerintah serius menyelesaikannya. (Foto: dok. DPR RI)
Jailani (45), pelaku pemerkosaan terhadap nenek kandungnya sendiri, saat diamankan polisi usai dihajar massa di Sergai, Sumatera Utara. (Foto: dok. Polres Sergai)
Ketua PKK dan Dekranasda Banda Aceh Dessy Maulidha meninjau pembinaan kerajinan di gampong pangoe deah
Tutup