Padahal, kebutuhan digitalisasi desa tetap bisa diwujudkan. Pemerintah desa dapat memanfaatkan Alokasi Dana Desa (ADD) dari kabupaten, bantuan keuangan provinsi, atau memanfaatkan skema kerja sama dengan komunitas IT lokal yang lebih murah dan transparan.
Dengan demikian, wacana website desa memang baik, tetapi bukan dengan memaksakan menggunakan Dana Desa.
Jika kepala desa tetap nekat, maka bersiaplah menghadapi konsekuensi hukum yang bisa mencoreng nama baik pemerintahan desa itu sendiri.
Di banyak gampong di Aceh, wacana membangun website desa mulai muncul. Alasannya mulia, untuk transparansi, promosi potensi, dan melayani publik. Namun, setiap kali Dana Desa disebut sebagai sumber pembiayaan, di situlah jebakan berbahaya itu dimulai.
Sejarah penyalahgunaan Dana Desa di Aceh mengajarkan banyak hal. Tahun 2024, LSM MaTA mencatat 16 kasus korupsi Dana Desa dengan kerugian negara mencapai Rp56,8 miliar.
Polanya berulang, anggaran dipakai untuk kegiatan yang tidak relevan, pelaksanaan fiktif, atau sekadar alat manuver elit lokal.
Kita masih ingat kasus di Ranto Panyang Barat, Aceh Barat, di mana Rp500 juta Dana Desa tak bisa dipertanggungjawabkan.
Di Aceh Timur, seorang kepala desa harus mendekam 5,5 tahun penjara karena menyelewengkan Rp727 juta. Bahkan di Aceh Tamiang, perangkat desa ikut terseret karena pengeluaran fiktif senilai Rp628 juta.
Semua bermula dari satu hal penggunaan Dana Desa yang keluar jalur, mengabaikan prioritas yang sudah diatur undang-undang.
Lalu bayangkan jika Dana Desa dipakai untuk membangun website desa. Tidak ada regulasi yang melegalkannya.
Tidak ada standar biaya yang bisa dijadikan acuan. Inilah celah empuk bagi modus lama, mark-up, pengadaan fiktif, atau proyek pencitraan yang hanya hidup sebentar di dunia maya, lalu mati, sementara anggaran sudah raib.
Kita patut belajar dari deretan kasus korupsi Dana Desa di Aceh, pola penyelewengan selalu bermula dari rasa “merasa bisa” menggunakan anggaran di luar prioritas.
Hari ini bicara website, besok bisa studi banding, lusa bisa proyek fiktif. Pada akhirnya, masyarakat desa yang dirugikan, sementara aparat desa bisa berakhir di ruang sidang Tipikor.