“Kalau perilaku seperti ini dibiarkan, mahasiswa akan belajar bahwa dunia akademik juga bisa korup. Padahal, kampus seharusnya menjadi benteng moral dan pusat integritas,” ujar dosen tadi, yang menilai fenomena joki profesor sebagai ancaman serius bagi kualitas pendidikan tinggi.
Praktik joki di Aceh bahkan disebut-sebut sudah memiliki pola seperti sindikat narkoba: terorganisir, tertutup, dan melibatkan pihak lintas daerah bahkan lintas negara.
Ada yang beroperasi di Aceh, ada pula jaringan joki dari Malaysia. Sebagian di antaranya disebut sudah bergelar profesor atau akademisi senior yang memang terbiasa memproduksi artikel internasional.
“Fenomena ini bukan hanya persoalan individu, tetapi sudah menjadi semacam bisnis akademik gelap. Jika tidak dihentikan, akan lahir banyak profesor instan yang tidak punya integritas keilmuan,” tambah sumber lain.
Untuk memutus rantai praktik joki, sejumlah kalangan menilai perlu adanya perubahan aturan di tingkat nasional, khususnya Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Permendikti Saintek) tentang kenaikan jabatan akademik.
Salah satu usulan yang mencuat adalah mewajibkan calon profesor menjadi keynote speaker pada seminar internasional sesuai bidang kepakarannya.
Tidak hanya sekali, tetapi secara berkelanjutan, minimal setiap tahun. Dengan begitu, seorang profesor benar-benar teruji kapasitas dan reputasi akademiknya di hadapan komunitas ilmiah global.
“Kalau syaratnya hanya publikasi jurnal internasional, maka joki bisa dengan mudah menyediakannya, asalkan ada uang. Tetapi jika harus menjadi pembicara utama di forum internasional, maka tidak bisa diwakilkan. Itu akan menguji langsung kompetensi dan integritas seorang akademisi,” tegas seorang akademisi di Banda Aceh.
Menjaga Marwah Akademik
Fenomena joki profesor di Aceh ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Jabatan profesor adalah puncak karier akademik yang seharusnya hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar mumpuni secara intelektual dan berintegritas tinggi.