BANDA ACEH — Kakanwil Kemenag Aceh Dr Iqbal Muhammad turut prihatin dengan pengaruh gawai terhadap perkembangan anak dan remaja di daerah tersebut. Meskipun gadget memiliki plus dan minus untuk penggunanya, akan tetapi saat ini yang terlihat sangat dominan adalah pengaruh negatif terutama bagi anak-anak.
Terlebih menurutnya di masa pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang membuat anak-anak di Aceh kian akrab dengan smartphone lantaran adanya kebijakan belajar online atau dalam jaringan (daring).
“Dalam situasi Covid-19 ini, anak-anak harus ikut dalam pembelajaran daring melalui HP atau Android yang bisa mengakses pelajaran-pelajaran sekolah. Kalau kita lihat evaluasi di lapangan, kita berbicara di lingkup Kementerian Agama, dalam hal ini madrasah. Dampak dari Covid-19 ini adanya pembelajaran daring yang mengharuskan guru dan anak-anak untuk menggunakan perangkat IT, yang salah satunya adalah HP,” ujar Kakanwil Kanmenag Aceh Dr Iqbal Muhammad pada Focus Group Discussion (FGD) bahaya dan dampak negatif game online
yang dilaksanakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Aceh, di aula kanwil setempat, Selasa (6/7).
FGD tersebut juga turut menghadirkan narasumber lainnya yakni Ketua MPU Aceh Tgk H Faisal Ali.
Meskipun pada awalnya kebijakan penggunaan smartphone untuk anak-anak bertujuan untuk kepentingan sekolah, akan tetapi di lapangan menurut Muhammad Iqbal banyak ditemukan hal negatif terutama bagi anak-anak yang menggunakan handphone tanpa pengawasan ketat dari orangtua.
Menurutnya fenomena yang terjadi di lapangan banyak yang memanfaatkan kesempatan mengakses handphone untuk bermain game, ataupun mengakses situs-situs dewasa, berita kekerasan atau hal-hal yang tidak baik bagi pertumbuhan anak tersebut.
“Pada umumnya kalau anak sudah kecanduan main HP atau main game online akan susah dinasehati oleh orangtuanya. Artinya, mentalnya sudah terganggu karena dia sudah terobsesi dengan HP dan apa yang ada di handphone,” kata Iqbal.
Iqbal turut menginstropeksi kebijakan pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19 yang membuat anak-anak kian ramah dengan gadget. Menurutnya ada anak-anak tidak memahami apa yang disampaikan oleh guru ketika belajar dilakukan tidak melalui tatap muka.
Sehingga proses belajar mengajar via handphone tersebut terpaksa dikawal oleh orangtuanya. Alhasil daya serap ilmu yang disampaikan sang guru tersebut hanya menyasar orangtua siswa saja.
“Yang carong yah ngon mak jih (yang pintar hanya ayah dan ibunya saja) karena yang pegang handphone adalah orangtua si anak. Jadi dari segi efektif, kurang efektif (belajar daring) dan justru ketika HP ini dikasih ke anak-anak dalam pembelajaran daring ini banyak ke hal-hal lain, termasuk anak-anak main game,” terang Iqbal.
Dampak negatif lain dari kebiasaan si anak menggunakan gadget, menurut Iqbal adalah kepatuhan anak terhadap orangtua dan mulai malas mengerjakan ibadah. Selain berpengaruh terhadap mental, penggunaan gadget berlebihan juga menyebabkan radiasi bagi tubuh pengguna, terutama anak-anak.
Kekhawatiran terhadap dampak penggunaan gadget terhadap tumbuh kembang anak didik telah jauh-jauh hari menjadi pertimbangan Kemenag Aceh. Salah satu upaya yang ditempuh adalah melarang siswa-siswi membawa handphone ke madrasah hingga selesainya jam pelajaran di sekolah.
Namun adanya Covid-19 membuat kebijakan tersebut berubah. “Mau tidak mau (anak-anak) kita bolehkan (membawa handphone). Jadi bertentangan dengan kebijakan yang lama,” ujar Iqbal.
Dia berharap pandemi Covid-19 dapat berakhir agar situasi kembali normal sehingga anak-anak tidak lagi akrab dengan handphone. Terlebih dengan adanya smartphone menurut Muhammad Iqbal akan membuat anak-anak mencari celah untuk bermain dengan gawai termasuk di jam istirahat sekolah.
“Yang kita lihat di daerah-daerah, setiap habis jam belajar, anak-anak berkumpul di balai-balai desa untuk bermain game, apalagi game online yang di dalamnya ada taruhan. Jadi anak-anak tersebut sudah belajar bermain judi sejak dini. Akibat yang ditimbulkan adalah karena tidak berani minta uang kepada orangtua akhirnya mencuri celengan di masjid, kemudian apa yang bisa dijual termasuk hewan ternak milik orang lain dicuri dan dijual untuk kebutuhan bermain game tersebut,” ungkap Muhammad Iqbal.
Fenomena seperti ini membuat pihak Kemenag Aceh terus mencari solusi untuk menjauhkan anak-anak didik kecanduan game online. Salah satu solusi yang ditempuh, berdasarkan pengalaman Iqbal di Pidie Jaya, yaitu dengan menambah jam belajar Alquran di madrasah hingga sore.
Penambahan jam belajar tersebut, menurut Iqbal bertujuan agar anak didik menjadi kelelahan dan dapat tertidur pulas di waktu malam serta tidak terpengaruh lagi dengan game online di handphone.
“Jadi waktu bermain game sudah terkuras di lembaga pendidikan kalau sudah di luar jam sekolah, itu sudah susah untuk mengontrol anak-anak. Ini merupakan upaya yang kita lakukan untuk menghindari pengaruh buruk game online dan handphone bagi anak-anak,” ungkap Muhammad Iqbal.
Hal lain yang akan dilakukan oleh Kanwil Kemenag Aceh adalah mengarahkan anak-anak didik untuk memanfaatkan Android secara positif. Caranya adalah mengajak anak-anak untuk membuat animasi-animasi berkonten pesan-pesan keagamaan.
“Pesertanya adalah anak-anak, jadi tidak hanya memanfaatkan smartphone untuk Facebook, game online atau sebagainya, tetapi juga untuk anak-anak bisa menghasilkan karya,” lanjut Muhammad Iqbal. (IA)