“Yang terjadi kemudian mereka mendapat dana cepat dari proses ijon di depan dari para pembeli saham di lantai bursa. Lalu negara hanya mendapat royalti dan bea ekspor yang masuk ke kas negara yang disebut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tetapi jumlahnya tidak seberapa,” papar dia.
Dijelaskannya, tahun 2020 lalu Kementerian ESDM mencatat uang yang masuk ke negara dari pertambangan mineral dalam setahun sebesar Rp 35 triliun rupiah. Padahal yang disebut pertambangan mineral itu mencakup Batubara, Nikel, Bijih Nikel, Emas, Perak, Timah, Tembaga, Granit dan lain-lain.
“Bukankah itu bisa ratusan triliun? Jadi siapa yang makmur kalau begitu. Tentu perusahaan-perusahaan itu. Yang orangnya ya itu-itu saja. Yang dekat dengan lingkar kekuasaan,” tukasnya.
Begitu juga dengan pendapatan negara dari perkebunan Sawit. Negara telah memberikan izin konsesi lahan sekitar 16 juta hektar, yang sebagian besar dinikmati oleh tidak lebih dari enam perusahaan besar konglomerasi sawit di Indonesia.
“Dari catatan yang ada, tahun 2020 pendapatan ke negara dari perusahaan sawit sekitar Rp 20 triliun. Padahal devisa ekspor perusahaan-perusahaan sawit tersebut yang tercatat di Bank Indonesia mencapai angka di kisaran Rp 350 triliun dalam setahun,” tuturnya.
Sama juga dengan yang terjadi di Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang terpaksa harus membeli listrik dari Perusahaan Pembangkit Swasta dengan skema Take or Pay. Artinya PLN harus tetap ambil dan bayar, meskipun over supply di saat Pandemi covid-19 dua tahun kemarin.
“Sehingga PLN babak belur, dan terpaksa menjadi perusahaan negara dengan utang terbanyak. Karena PLN memang harus berutang untuk membayar mereka para pemilik pembangkit swasta itu,” lanjut dia.
Lalu bagaimana agar terwujud kedaulatan ekonomi di Indonesia. Caranya, menurut LaNyalla, dengan secara konsekuen menerapkan Sistem Ekonomi Pancasila. Sebuah sistem yang dirancang dan dirumuskan dari pemikiran luhur para pendiri bangsa ini.
“Di era Orde Lama, Orde Baru, apalagi Orde Reformasi hingga hari ini sistem itu belum secara murni diterapkan. Apalagi pada Orde Reformasi, dengan adanya Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002, kita sudah meninggalkan Sistem Ekonomi Pancasila, dan berubah menjadi negara Kapitalistik, yang menyerahkan sistem produksi dan distribusi kepada mekanisme pasar,” paparnya.