SUBULUSSALAM — Pejabat Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh mengajak pihak Universitas Syiah Kuala (USK) untuk saling introspeksi diri terhadap kualitas dan mutu pendidikan di Provinsi Aceh saat ini.
Karena hampir 75 persen guru dan tenaga pendidikan di Aceh itu merupakan lulusan Perguruan Tinggi Negeri tersebut.
“Sebagai penyumbang guru terbanyak di Aceh, USK wajib introspeksi diri, apakah proses pendidikan bagi guru telah dilaksanakan dengan baik sehingga tamatannya dapat dipakai untuk satuan pendidikan yang ada di Aceh,” ujar Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil Dr Asbaruddin STP MM MEng, di Subulussalam, Senin (28/6).
Asbaruddin mengungkapkan pendidikan yang berjalan di USK saat ini ternyata juga masih dalam keadaan buram. Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya program studi yang berakreditasi B dan C.
“Apakah rendahnya kualitas guru di Aceh dipengaruhi oleh rendahnya kualitas Sarjana Pendidikan? Kita tidak bisa saling menyalahkan tetapi saling introspeksi diri, duk pakat dalam Bahasa Aceh,” terangnya.
Ia menambahkan, tolak ukur mutu atau kualitas pendidikan Aceh tidak hanya dilihat dari hasil evaluasi Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UTBK- SBMPTN) yang diikuti para lulusan SMA sederajat setiap tahunnya.
Namun, tolak ukur keberhasilan pendidikan adalah moralitas dan karakter peserta didik.
“Bila tidak lulus perguruan tinggi negeri bukan berarti mutu pendidikan rendah. Keselarasan dan harmonika sosial serta dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, jika dikendalikan oleh individu-individu cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis,” ungkapnya.
Kenyataan saat ini, lanjutnya pendidikan yang pada hakikatnya untuk membentuk manusia yang berkarakter, tampaknya belum berhasil di Indonesia saat ini karena cenderung membanggakan serapan masuk PTN dan mengabaikan akhlakul karimah.
“Pendidikan kita baru melakoni misi yang paling rendah dalam pendidikan, yaitu transformasi ilmu dalam upaya pengembangan intelektual, sementara misi moral masih tercecer diantara jalan terjal mimpi dan kenyataan, pertanyaannya siapa yang peduli?,” ujarnya.
Indikator keberhasilan pendidikan, menurut Asbar sejatinya lebih dominan ke arah afektif (sikap, akhlakul karimah atau moralitas) para lulusannya, disamping tidak mengabaikan keilmuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik).
“Ilmuan tidak boleh hanya memandang rangking dari jalur saintek, humaniora atau perspektif lain, ilmuan harus menjadi illmuan sejati yang tidak menghakimi dari satu sudut padang saja. Ternyata dalam ujian masuk perguruan tinggi tidak menilai bagaimana afektif, hanya menilai kognitif dan menafikan psikomotorik lulusan, ini sangat keliru,” pungkasnya. (IA)